TEORI SOSIALISME MELANESIA



Oleh: Dr. Ibrahim Peyon


1. Pengantar


Banyak ilmuwan barat termasuk antropolog telah mengembangkan berbagai teori dari perperspektif mereka. Apakah teori yang dibangun dibalik meja dari laporan misionaris dan penyelajah, maupun teori yang dibangun berdasarkan fieldwork di suatu masyarakat tertentu atau studi komparatif. Kebanyak teori-teori klasik pada abad ke-17 hingga awal abad ke-19 lebih banyak mendeskripsi dari pandangan etik, maka pandangan emik kurang diperhatikan. Pengaruh teori-teori ini masih sangat kuat sampai sekarang, maka para sarjana atau intelektual dari dunia ketiga dan masyarakat adat masih tetap menerima teori-teori sebagai kebenaran tunggal. Meskipun akhir abad 19 telah muncul teori-teori pascakolonial dan teori-teori feminis sebagai anti tesis dari teori-teori arus utama di atas. Pada awal tahun 200-an telah muncul lagi sebuah gerakan baru oleh para intelektual pribumi yang bertujuan untuk membangun kembali epistemologi, teori dan metodologi dari perspektif masyarakat pribumi sendiri. Kemunculan aliran-aliran mahtab itu juga dilandasi dengan pembangunan ideologi politik nasionalisme di berbagai negara yang baru merdeka pasca kolonial, dan sebagian besar ideologi politik itu dibentuk dari dasar kebudayaan mereka sendiri. Ada sebagian negara lain adopsi ideologi politik mereka dari negara-negara lain atau aliran teori besar tertentu sebagai alat gerakan perlawanan.


Di masa kini pengaruh teori-teori ini masih sangat besar di negara-negara dunia ketiga termasuk masyarakat pribumi di seluruh dunia. Di Indonesia termasuk kita di tanah Papua para intelektual masih belum bebas dari pemahaman ini, dan kami masih sangat bergantung pada teori-teori ilmiah ala Barat tersebut. Bahkan para generasi mudah Papua saat ini terdokrin paham sosal politik tertentu dan dianggapnya sebagai sebuah kebenaran mutlak. Teori-teori besar seperti kapitalisme dan sosialisme adalah yang sering dibahas dalam kaitan dengan kondisi sosial budaya di West Papua. Lepas dari itu, diskusi ini berkaitan dengan konsep sosialisme melanesia dalam kerangka teori antropologi untuk memahami kehidupan sosial budaya orang Melanesia.        

   

2. Konsep dan Teori


Sosialisme Melanesia adalah sebuah teori yang berhubungan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat Melanesia yang berdasarkan dengan kehidupan bersama, berbagi, bersolidaritas dan humanis dalam kehidupan sehari-hari. Teori antropologis ini kemudian direduksi sebagai suatu ideologi politik dalam berbagai kepentingan. Dalam konteks politik, konsep sosialisme berkaitan dengan sebuah paham yang meyakini sebagai sebuah kebenaran yang akan menjadi dasar bagi sebuah organisasi politik, aliran, keyakinan, partai, dan bahkan ideologi sebuah negara bangsa. Para penganut ideologi meyakini bahwa dengan dasar itu mereka akan membangun suatu masyarakat secara berkeadilan, berkesetaraan, dan berkemerataan secara kolekt if. Mereka juga menggap ideologi ini mampu mengurangi atau menghilangkan segat-segat masyarakat atau oleh kaum Marxian disebut sebagai kelas-kelas sosial. 


Sosialisme Melanesia secara subtansif berbeda dari aliran teori sosialisme lain seperti Sosialisme Cuba (Sweerzi and Huberman, 1969), sosialisme Afrika (Forgwe, 2002; Williams, 2011), Sosialisme Arab yang dikembangkan oleh Abd Al-Nasir (Kadri, 2016), dan juga sosialisme komunisme Karl Marx, Fredrich Engel dan Lennin. Di negara-negara sosialis seperti Cuba banyak dipengaruhi teori Marxisme-Leninisme, berbeda dengan teori sosialisme Melanesia. Sosialisme Melanesia dibentuk dari basis budaya Melanesia sendiri. Tetapi sosialisme Melanesia bukanlah satu-satunya, karena basis budaya melanesia memiliki beraneka pandangan, keyakinan dan paham yang bersumber dari kebudayaan Melanesia. Sistem pengetahuan Melanesia memiliki pandangan sendiri tentang demokrasi, kapitalisme, individualisme, federalisme, humanisme, dan termasuk sosialisme. Tiap suku-suku di Melanesia memiliki sistem pengetahuan dan pemahaman yang bervariasi. Suku tertentu pandangan dunia mereka sebagai karakter dasar adalah kapitalis dan individualis, suku lain mementingkan kolektivisme atau komunalisme, dan suku lain humanis, demokratis dan damai. Bentuk dan ukuran sosial secara empiris berbeda, tetapi memiliki struktur inti yang sama. Sosialisme Melanesia sendiri adalah manifestasi dari bentuk-bentuk resiprositas, humanisme dan komunalisme, (Premdas, 1987). Tiga prinsip ini adalah dasar sosialisme Melanesia, dalam bentuk empiris dalam kehidupan sehari-hari orang Melanesia. Konsep resiprositas yang berbasis dari konsep Mana di Melanesia dan Polinesia, dan potlatch di Pasifik Utara. Konsep Kula Rink dalam masyarakat Trobriand, konsep pesta babi di dataran tinggi New Guinea, konsep sirkulasi Kain Timur di Maybrad, dan kepemilikan dan penggunaan tanah komunal di seluruh Melanesia. Konsep-konsep ini yang melandasi sosialisme Melanesia dan semua konsep itu berasal dari budaya Melanesia sendiri. Oleh karena itu, pastor Lini mengatakan, sosialisme Melanesia sudah ada di Melanesia sebelum kontak dengan Barat, dan atau sebelum ada teori Marxisme-Leninisme.


3. Sosialisme Kebudayaan Melanesia


Apa yang dimaksud dengan konsep-konsep itu? Istilah Potlatch berasal dari kata Chinook, sebuah suku Indian di Pantai Utara Amerika atau Pasifik Utara, potlatch berarti memberikan. Dalam upacara-upacara besar lingkaran hidup seperti pernikahan, penamaan anak, dan inisiasi, ditandai dengan pesta besar disebut potlatch. Penyelenggara pesta memberikan berbagai hadiah kepada para tamu yang hadir dalam persta tersebut. Potlatch juga sekaligus sebagai konstitusi, nilai, norma dan hukum untuk menyelesaikan berbagai hal, di sisi lain potlatch sebagai media menghadirkan roh leluhur dan tuhan pencipta yang mereka percaya. (Halliday, 1935; Dixon, 2007). Di Pasifik Selatan khususnya Polinesia dan Melanesia, konsep seperti ini dikenal dengan nama Mana. Konsep mana sangat mendasar bagi agama dan budaya Melanesia dan saling berhubungan dengan konsep-konsep utama Melanesia lain. Konsep Mana dikenal luas pada suku-suku yang berbeda di Melanesia seperti di Salomon, Vanuatu, Kanaki dan Fiji. Konsep Mana juga dikenal luas dalam masyarakat Tonga dan Samoa. Mana didefinisikan dengan konsep yang berbeda-beda dengan meliputi banyak aspek. 


Berbagai studi klasik menunjukkan tidak ada kesepakatan tentang konsep Mana, tiap merumuskan konsep yang berbeda. Hal ini menunjukkan kebingungan mereka. Perbedaan itu sebagai berikut, Mana sebagai kekuatan atau pengaruh supernatural (Codrington), kekuatan magis atau kekuatan supernatural (Marett), kekuatan religius impersonal (Durkheim), kekuatan ilahi (Handy), efektif, keajaiban, otoritas, prestise (Tregear), benar (Hocart dan Burt), keberuntungan (Hogbin), "substansi spiritual tak terlihat di mana benda-benda dapat dibenamkan" (Fox), untuk menjadi kuat, untuk melatih kekuatan (Ivens) dan sebagai analogi dengan listrik (Handy dan Driberg). Perdebatan ini menunjukkan kesulitan mereka untuk menemukan definisi yang tepat sesuai dengan konsep tersebut. Hubert dan Mauss, mendefinisikan Mana tidak hanya sebagai kekuatan atau makhluk, tetapi juga sebagai tindakan, kualitas, dan keadaan, artinya mana bisa berupa kata benda, kata sifat, atau kata kerja.


Salah satu bentuk Mana adalah kekuatan untuk memperoleh kelimpahan kekayaan seperti banyak ternak babi, banyak hasil penangkapan ikan, kebun-kebun dan hasil tanaman subur dan banyak isi, mengumpulkan banyak, dan sebagainya. Seseorang memperoleh banyak kekayaan itu karena orang tersebut memiliki Mana, dimana mana itu hadir dalam bentuk batu yang unit, tulang manusia, atau jenis hewan tertentu dan benda material lainnya. Orang menguji benda itu dengan melakukan tindakan tertentu, ternyata bentuk itu berhasil memiliki kekuatan tertentu maka dianggap benda itu memiliki Mana. Dalam beberapa suku di Vanuatu dan Salomon Island misalnya, setelah kekayaan-kekayaan itu dikumpulkan melaksanakan upacara-upacara tertentu. Dalam upacara ini diundang anggota kerabat, pasangan dagang atau anggota masyarakat lainnya, kemudian dibagikan kekayaan tersebut. Sistem berbagi, baik pemberian maupun menerima memiliki kewajiban di satu sisi, dan hak di sisi lain, karena ada keterikatan dari dua sisi. Marcel Mauss mengambarkan dengan jelas sistem pemberian dalam masyarakat Samoa, Tonga, Maori, Fiji, Vanuatu dan juga Salomon.(Mauss, 1954). Sistem berbagi, di satu sisi pemberian adalah suatu kewajiban orang memberikan sesuatu yang dimiliknya kepada orang lain, dan di sisi lain orang menerima pemberian itu sebagai hak untuk mendapatkannya. Mauss merumuskan sistem ini disebut Resiprositas.


Bentuk lain dari sistem berbagi adalah Lingkaran Kula dalam masyarakat Trobriand di Papua New Guinea. Salah satu antropolog, Bronislaw Malinowski (1919; 1920; 1922; 1948) melakukan fieldwork dalam masyarakat Trobriand dengan studi utama adalah Lingkaran Kula (Kula Ring), ia mempelajari sistem perdagangan Kula diantara komunitas-komunitas di pulau-pulau itu. Pada musim tertentu enam bulan pertama, orang-orang melakukan ekspedisi ke pulau-pulau itu dengan perahu yang dipenuhi dengan berbagai kekayaan mereka. Mereka melakukan ekspedisi mengelilingi pulau-pulau itu keluar dari selatan dan kembali melalui utara. Mereka melakukan perdagangan barang-barang dagangan itu kepada parnet-parnet mereka di pulau-pulau itu. Barang-barang itu ditukar dengan jenis barang lain dengan nilai yang sama atau berbeda. Bila tidak ditukar pada saat itu, barang-barang itu diberikan kepada pasangan dagang mereka, dan di musim berikutnya para parnet itu akan memberikan barang dengan nilai yang sama atau berbeda. Tiba di musim enam bulan berikutnya, mereka melakukan ekspedisi melalui jalur utara dan kembali melalui jalur selatan. Dalam sistem lingkaran Kula ini melibatkan banyak orang dengan peran yang berbeda. Seorang pemiliki kekayaan, ahli navigasi, ahli agama tradisional untuk mengendalikan kekuatan gaib di espedisi, ahli pengendali cuaca, ahli diplomasi dagang, dan seterusnya. Dalam sistem Kula Ring meliputi banyak aspek, ekonomi dan perdagangan, politik, hubungan kekerabatan dan perkawinan, kepercayaan, dan lainnya. Diantara semua itu, salah satu aspek penting adalah nilai berbagi dalam berbagai bidang diantara komunitas-komunitas di pualau-pulau itu. 


Hal ini dijelaskan Malinoswki ekspedisi antara orang Sinaketa ke Dobu, dan sebaliknya di musim berikut orang Dobu ke Sinaketa. 


All the transactions in Dobu concluded, the party receive their parting gifts (talo'i) and sail back, doing the spondylus fishing just mentioned in Sanaroa, trading for pots with the Amphletts, and receiving additional Kula gifts and talo'i (parting gifts) in all the places, where they go ashore on their return journey. In due time, after a year or so, the Dobuans will make their return expedition to Sinaketa, with exactly the same ceremonial, magic and sociology. On this expedition they will receive some armshells in exchange for the necklets previously given, and others, as advance gifts towards the next Kula transaction. The Kula trade consists of a series of such periodical overseas expeditions, which link together the various island groups, and annually bring over big quantities of vaygu'a and of subsidiary trade from one district to another. The trade is used and used' up, but the vaygu'a-the armshells and necklets-go round and round the ring. (Malinowski, 1920: 105). 


Dimana semua transaksi orang Sinaketa dalam ekspedisi mereka telah habis di Dobu, rombongan menerima hadiah perpisahan dan berlayar kembali ke Sinaketa. Di sini mereka menerima tambahan hadiah Kula. Di mana semua tempat yang mereka lewati telah terima hadiah pemberian sebagai hadiah perpisahan. Pada tahun berikutnya, orang-orang Dobuan akan melakukan ekspedisi kembali ke Sinaketa, dan mereka akan menerima beberapa hadiah sebagai ganti kalung yang diberikan sebelumnya, dan diberikan juga beberapa hadiah lain sebagai untuk transaksi Kula di musim berikutnya. Sistem lingkaran Kula ini melibatkan banyak aspek dan melakukan ekspedisi dari satu pulau ke pulau lain secara berkelanjutan. Ekspedisi Kula melibatkan banyak aspek dengan peran dan fungsi masing-masing secara terintegrasi. Studi sistem ekspedisi lingkaran Kula memberikan konstribusi besar dalam studi antropologi. Berdasarkan studi fieldwork Bronislaw Malinoski itu telah memberikan tiga kontribusi penting bagi antropologi. Pertama, Malinowski meletakan fieldwork etnografi yang hidup bersama komunitas dalam waktu yang lama dan mengumpulkan data dari tangan pertama. Kedua, studi lapangan secara mendalam dan holistik. Ketiga, berdasarkan studi itu Malinowski membangun salah satu teori besar dalam antropologi, teori Fungsionalisme Antropologi, (Malinowski, 1961; 1962).


Bentuk sistem berbagi lain, pesta raya babi suku-suku di dataran Tinggi New Guinea, baik suku-suku di wilayah Papua New Guinea maupun di West Papua. Mereka memiliki pesta raya babi dan sistem distribusi yang mirip dan bahkan sama. Kita bisa lihat studi kasus yang di lakukan oleh Roy Rapaport dalam masyarakat Tsembaga Maring, di Papua New Guinea. Salah satu studi peting, “Pigs for the ancestors: ritual in the ecology of a New Guinea people” (Rapapport, 1984). Dalam buku ini ia menjelaskan hubungan antara populasi babi, kesediaan makanan, ekologi dan ritus. Populasi babi makin banyak, persediaan makanan berkurang, karena masyarakat tidak mampu memberikan makanan ternak babi mereka. Pada sisi lain, populasi babi makin banyak ekologi lingkungan tempat cari makan babi makin kecil, dan tempat berkebun terbatas. Kondisi ini mendorong orang Tsembaga melakukan pesta babi raya dan dibagikan kepada anggota kerabat dan kenalan secara lebih luas. Di sini Rapapport menghubungkan manusia, babi dan banyak aspek lain, ia klasifikasi delapan aspek terkait dengan pelaksanaan upacara pesta babi. Salah satu adalah distribusi dan konsumsi daging babi dalam masyarakat sebagai sebuah sistem berbagi antara kewajiban memberikan dan hak menerima, diantara anggota masyarakat. (Rapapport, 1964: 3-4). 


Satu kasus lain dalam masyarakat di dataran Tinggi New Guinea adalah pesta babi raya di lembah Balim. Di masa kecil kami sering menyaksikan pesta babi di lembah Balim, tiap lima tahun atau lebih tiap konfederasi mengadakan pesta babi. Dalam perta babi itu dapat menyelesaikan berbagai hal seperti upacara maskawin, melunasi utang, menyelesaikan utang terkait orang mati, dan melakukan perdagangan. Dalam pesta ini mereka mengundang para tamu dari berbagai daerah, bahkan suku-suku tetangga mereka. Tiap keluarga dan silimo masak babi serentak pada hari yang ditentukan. Pada suatu hari yang telah ditentukan melaksanakan suatu upacara makan daging babi bersama yang disebut wama agap. Tiap keluarga bawa daging babi yang sudah dimasak, apakah satu ekor babi utuh atau atau sebagian, tergantung kesediaan mereka. Daging babi dikumpulkan suatu tempat terbuka atau di lapangan, para tamu datang dan berkumpul dari berbagai tempat. Di sini pemimpin pesta dan para tuan rumah berdiri membagikan semua daging babi itu secara gratis kepada semua orang yang hadir. Bila masih ada sisa, mereka melemparkan daging-daging itu dan dihampurkan diantara orang-orang yang duduk secara berkelompok itu maka orang mengambil, dan menari bersama. Di masa kecil, saya pernah melihat pesta macam ini di daerah Aikima, di lokasi pertigaan saat ini antara ke Kurelu, Pasir putih, dan arah Wamena kota. Contoh kasus pesta dalam masyarakat Hubula di Lembah Balim, dan orang Tsembaga Maring adalah bentuk lain dari Sosialisme Melanesia. 


Di berbagai suku-suku di Melanesia memiliki satu prinsip umum bahwa tanah-tanah dapat dimiliki dan dikendalikan berbasis klan, dan anggota-anggota digunakan secara kolektif berganti generasi. Masyarakat di kampung-kampung terdiri dari banyak klan, klen-klen tertentu dianggap sebagai klan tertua, dimana leluhurnya membuka kampung itu dan jenis klen-klen ini menguasai tanah dan sumber daya alam lebih banyak dari klen lain. Ada klen-klen tertentu tidak memiliki tanah karena mereka klen pendatang di kampung itu. Ketika orang buka kebun baru, pemilik tanah bagi tiap bagian tanah kepada semua anggota masyarakat dalam kampung itu, anggota klen yang menguasai dan memiliki tempat berburu dan beramu mengajak anggota klen lain untuk berburu dan meramu bersama. Setelah mereka memberoleh hasil distribusi hasil buruan hewan, makanan, hasil tangkapan ikan dan seterusnya itu didistribusi kepada kerabat, kenalan, dan tetangga mereka. Sistem-sistem kepemilikan komunal dan distribusi ini adalah bentuk-bentuk empiris dari sosialisme Melanesia.


Apa yang digambarkan dalam kasus-kasus ini adalah prinsip-prinsip dasar dari Sosialisme Melanesia, yaitu: komunalisme, humanisme dan berbagi atau resiprositas. Komunalisme adalah kehidupan yang mementingkan kolektifitas, tinggal bersama sebagai kelaurga, kerabat, kenalan dan tetangga, melakukan berbagai aktifitas secara bersama. Kebersamaan itu diimbangun dengan saling berbagi, distribusi makanan, kekayaan, hadiah, membantuk ketika mengalami kesulitan dan musibah, berbagi tanah dan sumber daya alam bersama. Tiap orang terikat oleh hubungan emosional, merasa tanggung jawab dan kewajiban pada satu sisi, dan memiliki hak menerima di pihak lain. Komunalisme dan resiprositas itu dilandasi oleh perasaan humanisme, hubungan emosional sebagai kelurga, kerabat, kenalan, kesatuan sejarah dan asal-usul dari leluhur bersama. Rasa solidaritas yang melibatkan hati dan perasaan.    

                    

4. Sosialisme Melanesia sebagai ideologi Politik


Saya tidak tertarik dengan ideologi politik, namun ada kenyataan bahwa Sosialisme Melanesia telah menjadi ideologi negara Vanuatu setelah negara itu dibentuk. Ketidak tarikannya, ketika suatu teori direduksi dan ditarik ke dalam sebuah ideologi politik, kegiatan ilmiah telah mereduksi nilai dan kehilangan makna ilmiahnya. Kerena kegiatan ilmiah dikaitkan dengan politik dan kepentingan, maka teori tidak menjadi netral. Sebuah teori direduksi menjadi ideologi politik, maka ruang kajiannya telah dibatasi menjadi sempit untuk dikembangkan lebih luas. 


Terkait dengan sosialisme Melanesia sebagai ideologi, kita melihat kembali kepada Walter Lini, bapak pendiri negara Vanuatu. Walter Lini dengan sosialisme Melanesiannya telah digambarkan dengan baik dan mendalam oleh Ralph R. Premdas (1987) dalam tulisannya: ”Melanesian Socialism: Vanuatu’s Quest for Self-Definition and Problems of Implementation”. Walter Lini mengakui bahwa ia menganut sosialisme, tetapi sosialisme bukan dari blok timur (Marxisme-Leninnisme). Sosialisme yang menganut oleh Walter Lini di Vanuatu adalah bentuk komunalisme, dan secara tepat digambarkan sebagai sosialisme Melanesia. Lini menegaskan bahwa dalam sosialisasi dan budaya, dia dan rekan senegaranya “tetap merupakan produk dari Sosialisme Melanesia.” Sama pentingnya dengan kata “sosialisme” dalam frase “Sosialisme Melanesia” adalah kata “Melanesia”, Jangan sampai dia dituduh mengimpor ide-ide asing, Lini telah menunjukkan bahwa ajaran dan praktik Sosialisme Melanesia mendahului Marx dan Lenin. Dia memberikan contoh kebijakan pertanahan pemerintahnya untuk mengilustrasikan hal ini: “Tanah ada untuk digunakan oleh masyarakat untuk kebutuhannya. Ini menurut definisi adalah prinsip sosialis, tetapi prinsip yang kami praktikkan ratusan tahun sebelum Marx, Engels, atau bahkan Lenin lahir. (Premdas, 1987: 108). 


Seperti yang saya jelaskan sumber dan asal-usul sosialisme Melanesia di atas yang bersumber dari budaya Melanesia sendiri. Walter Lini lebih jauh menekankan bahwa sosialismenya adalah sifat dan asal usul Melanesia. Lini secara tegas memisahkan keyakinan sosialisnya dari “komunisme”, agar tidak dituduh dan tidak disalahartikan sebagai varian dari Soviet. Lini telah mencatat bahwa "kita hanya perlu melirik ke arah timur dan kita segera dituduh merayu dunia Komunis." Untuk menghindari istilah "komunisme," ala Marx dan Lenin, Walter Lini telah menggunakan penunjukan alternatif "komunalisme", kadang-kadang menyebut keyakinannya "komunalisme Melanesia" atau, lebih sering, "Sosialisme Melanesia".


Lini selanjutnya menguraikan prinsip-prinsip yang mendasarinya mengenai komunalisme atau sosialisme Melanesia. Aspek yang menonjol adalah nilai-nilai Melanesia, sebelum diubah dalam bentuk dan derajat yang berbeda oleh kolonial dan misionaris. Kemudian ia menyandingkan sosialisme Melanesia dengan kapitalisme,komunalisme versus individualisme, berbagi versus kepentingan individu, humanisme versus materialisme. Lalu ia mendefinisikan konsep-konsep itu, komunalisme “didasarkan pada kesadaran masyarakat di mana individu tidak menganggap dirinya atau kepentingan pribadinya lebih diutamakan daripada kepentingan umum anggota komunitas. Berbagi mirip dengan praktik memberi dan menerima dalam budaya Melanesia: "Memberi didasarkan pada kemampuan seseorang untuk melakukannya. Menerima didasarkan pada kebutuhan seseorang. Resep memberi-menerima ini serupa dengan hubungan penghargaan-kerja Marxis: “Dari masing-masing sesuai dengan kemampuannya, untuk masing-masing sesuai dengan kebutuhannya,” tetapi berbeda dari yang ditemukan dalam konstitusi Soviet. “Dari masing-masing menurut kemampuannya, untuk masing-masing menurut pekerjaannya. Humanisme mengacu pada penekanan materialisme dalam hubungan manusia dan menekankan "kasih sayang dan kebersamaan." (Premdas, 1987: 109).


Jadi, prinsip-prinsip Sosialisme Melanesia sederhana: komunalisme, berbagi, dan humanisme. Tidak ada yang dikatakan tentang mode analisis seperti materialisme historis atau dialektis yang begitu integral dengan Marxisme, juga tidak ada kategori Marxis yang akrab seperti hubungan properti, kelas, atau konflik kelas yang digunakan secara eksplisit. Ini masuk akal, dimana mode analisasi sosialisme Melanesia terkait dalam konflik kelas, antara pemilik kapital, teknokrak, buruh sebagai mesin produksi kapital. Karena dalam budaya Melanesia tidak mengenal sistem kapitalisme sebelum kontak dengan barat dan kolonialisme. Kapitalisme dan imperialisme adalah anak kandung dari kolonialisme, sistem kolonialisme ada untuk pendudukan wilayah, penguasaan ekonomi dan perampasan sumber daya alam yang menjadi akar dari kapitalisme.


Lini mengatakan sumber utama sosialsime Melanesia adalah budaya Melanesia sendiri, seperti sebelum kontak dengan dunia luar, pemerintah penjajah dan kristen. Sosialisme Melanesia bertujuan untuk kembali kepada akar sejarah dan budaya tentang nilai-nilai Melanesia, dapat dihidupkan kembali dengan menghapus semua nilai-nilai pemerintah kolonial dan kristen yang mengacaukan budaya Melanesia.     


Sumber kedua Sosialisme Melanesia berasal dari Papua New Guinea (PNG), di mana awal tahun 1970-an tantangan radikal yang diajukan kepada otoritas kolonial kolonial untuk kemerdekaan Papua New Guinea. Ideologi nasionalis PNG diwakili dengan istilah “ Melanesia way”. Pendukung utama gagasan ini adalah Pastor John Momis dan Bernard Narokobi, yang menganjurkan restrukturisasi radikal masyarakat dan politik PNG setelah kemerdekaan. Beberapa mahasiswa ni-Vanuatu yang kuliah di Universitas Papua New Guinea aktif terlibat dalam gerakan Melanesia way. Setelah lulus mereka kembali ke Vanuatu dan kemudian menjadi anggota eksekutif Vanuaaku Pati di Vanuatu. Sumber PNG ini memiliki koneksi dengan Tansania, berkaitan dengan sosialisme ulist Julius Nyerere. Kontingen dosen ekspatriat dari Tansania yang bersimpati dengan gagasan sosialisme Julius Nyerere ke PNG dan mereka menjalin hubungan intim dengan nasionalis PNG, dan setelah Vanuatu merdeka beberapa dosen dar Tansania itu ke Vanuatu, membantu Vanuaaku Pati untuk merumuskan Sosialisme Melanesia.


Sumber ketiga berasal dari agama kristen. Di mana nilai-nilai etis Kristen memiliki kedekatan besar dengan nilai-nilai Melanesia. Oleh karena itu, ia melihat Kristen sebagai sosialis seperti halnya budaya Melanesia. Lini dan banyak pendiri dan aktivis Vanuaaku Pati (memimpin perjuangan kemerdekaan), lulus dari sekolah agama Kristen dan perguruan tinggi teologi. Di antara anggota parlemen Vanuaaku Pati dan anggota kabinet adalah para pendeta dan katekis. (Premdas, 1987: 110-112).


Jadi, Sosialisme Melanesia dibentuk dari kombinasi nilai-nilai budaya Melanesia, Melanesia way, nilai-nilai kekristenan dan sosialis Afrika (Tansania), telah memengaruhi praktik kelembagaan seperti pemerintah daerah dan desentralisasi, organisasi partai, kode kepemimpinan, dan kebijakan luar negeri. Maka, sangat jelas bahwa Sosialisme Melanesia tidak memiliki hubungan dengan sosialisme komunisme atau marxisme Leninisme.


5. Kemiripan Sosialisme Melanesia dan Sosialisme Marxis 


Kita sepakat bahwa dari sisi terminologi sosialisme Melanesia dengan Sosialism-Marxis adalah sama dengan satu kata, “sosialisme“ maka orang dengan mudah menafsirkan bahwa bentuk sosialisme Melanesia sama dengan bentuk sosialisme Marxis. Pandangan ini sering ditampilkan oleh para pihak yang bersimpati paham sosialis Marxis atau disalah pahami kedua paham ini. Kekuatiran atas salah penafsiran ini telah diantisipasi oleh Walter Lini, dengan menambahkan kata lain dibelakang istilah sosialisme adalah “Melanesia“ maka menjadi sosialisme Melanesia. Penambahan kata Melanesia menunjukkan pemisahan antara Sosialsiem Marxis dan Sosialisme Lini. Kata sosialisme juga sama dengan bentuk-bentuk sosialisme lain dimanapun termasuk sosialisme Afrika, Asia, Timur tengah dan Amerika latin.  

Doktrin komunis Marxisme-Leninisme menyatakan bahwa sumber daya harus dimiliki dan dikelola secara kolektif oleh pemerintah terpusat. Sosialisme Melanesia setuju dengan ini. Komunisme membayangkan masyarakat tanpa kelas, dan sosialisme Melanesia menekankan kesetaraan sosial dan ekonomi. Di sini sosialisme Melanesia dan Sosialisme Marxis sama-sama menekankan kesetaraan, tetapi Marxisme ingin menciptakan masyarakat tanpa kelas, sedang Sosialisme Melanesia ingin mewujudkan pemerataan tanpa menghapus kelas. Komunis melihat kapitalisme mengeksploitasi kelas pekerja dan sosialis vanuatu memiliki alasan kuat untuk mengasosiasikan kapitalisme dengan imperialisme dan marginalisasi rakyatnya. Di sini, penekanan Marxis adalah kelas pekerja atau kaum buruh, sedang sosialis Vanuatu melihat masyarakat pemilik tanah yang dieksploitasi dan dimarginalisasi oleh kapitalisme. Konsep-konsep ini mengambarkan ada kemiripan, tetapi tidak sama bentuk dan isinya.       


6. Perbedaan Sosialisme Melanesia dan Sosialisme Marxis


Di sini kita identifikasi perbedaan mendasar antara sosialisme Melanesia dengan sosialisme-komunisme dari Karl Marx. Secara mendasar ideologi sosialisme komunisme berbeda dari semua bentuk sosialisme lainnya. Ideologi sosialisme-komunisme mengandalkan satu partai otoriter untuk mengendalikan pemerintah. Berbeda dengan sistem sosialisme Melanesia, memungkinkan sistem pemerintahan yang lebih representatif dengan berbagai partai politik. Komunisme Marx dan Lenin anti demokrasi, tidak menghendai adanya kebebasan dan demokrasi, contoh Rusia, Cina, dan Korea Utara. Berbeda dengan Sosialisem Melanesia yang mengutamakan kebebasan, demokrasi, humanis dan terbuka. Selain itu, komunisme Marxis tidak mengizinkan adanya gagasan kapitalis dalam ekonominya, dan ia menginginkan penghapusan kepemilikan pribadi. Sebaliknya, sosialisme Melanesia memungkinkan kepemilikan pribadi atas barang dan properti, dan percaya bahwa interaksi dengan kapitalisme adalah mungkin untuk pertumbuhan ekonomi negara . Komunisme membayangkan negara dengan masyarakat tanpa kelas, tanah dan sumber daya dimiliki dan dikendalikan oleh negara untuk kepentingan umum. Sementara Sosialisme Melanesia menghendaki tetap mempertahankan keberadaan masyarakat dan mengutamakan kesetaraan sosial dan ekonomi masyarakat. Komunisme Marxis mekankan tentang konflik kelas, antara kapital dengan kelas pekerja atau kaum buruh, dimana kapitalisme eksploidasi kelas pekerja sebagai mesin produk kapital. Sementara itu, sosialisme Melanesia menekankan masyarakat pribumi dan pemilik tanah yang dieksploidasi dan dimarginalisasi oleh kapitalisme. Komunisme menekankan mobilisasi kamu buruh atau kelas pekerja dalam revolusi melawan pemerintah berkuasa, sementara bentuk sosialisme dimanapun membayangkan membentuk masyarakat revolusioner mengusir kolonial dan kapitalis yang menghisap masyarakat pribumi. Komunisme-Marxis menolak agama yang dianggap sebagai alat kapitalis. Karena itu partai komunis Uni-Soviet dan partai komunis Cina melarang agama atau mengontral agama secara ketat. Banyak negara-negara komunis seperti di Eropa Timur telah banyak melarang gereja dan menyiksa para pendeta dan pastor serta orang-orang kristen. Di Jerman Timur dulu bekas negara komunis hingga saat ini sebagian masyarakat tidak menerima agama kristen dan agama-agama lain, (Marx, 1846; 1867; 1888; 1953 dan 1975). Tetapi, ini berbeda dengan negara-negara sosialis Marxis di Amerika Lantin, seperti Cuba, Venezuela, mengakui agama dan diterima sebagai bagiannya, (Huberman and Sweezy, 1969). Berbeda dengan sosialisme Melanesia, agama kristen menjadi salah satu sumber utama sumber sosialisme Melanesia. Sosialisme Marxis menekankan materialisme historis, dimana Karl Marx menurus teorinya berbasi pada kehidupan masyarakat pra-industri di berbagai wilayah. Dimana sebagian besar data tentang masyarakat pra-industri berkonstribusi dari antropolog ternama Lewis Henry Morgan dalam buku klasiknya “Ancient Society (1977). Sebagian besar analisa materialisme historis bersumber dari karya Morgan tersebut. Sementara, Sosialisme Melanesia menekankan menghidupkan kembali nilai-nilai budaya Melanesia sendiri yang telah dirubah oleh pemerintah kolonial dan kristen. 


Lebih berjelas perbedaan antara kedua paham yang telah dijelaskan di atas diringkas dalam tabel berikut ini.  


Sosialisme-Komunism ala Marxis:


1. Satu partai otoriter kendalikan pemerintahan.

2. Anti demokrasi.

3. Tidak mengizinkan kapitalisme dalam ekonomi.

4. Penghapusan kepemilikan propertii barang dan jasa.

5. Bentuk negara dengan tanpa kelas dalam masyarakat.

6. Tanah dan SDA alam dimiliki negara untuk kepentingan umum.

7. Menekankan konflik kelas antara kapital dan kelas pekerja/proletariat yang tidak memiliki tanah dan sumber daya.

8. Menolak agama sebagai alat kapitalisme.

9. Menekankan materialisme historis .


Sosialisme-Melanesia:


1. Memungkinkan banyak partai, sistem pemerintahan representatif.

2. Demokrasi memungkinkan

3. Interaksi dengan kapitalisme untuk pembangunan ekonomi.

4. Mengisinkan kepemilikan properti barang dan jasa

5. Mempertahankan keberadaan masyarakat sebagaimana adanya.

6. Negara mengakui kepemilikan masyarakat adat atas tanah dan sumber daya, dan negara mengatur untuk kepentingan umum.

7. Menekankan melindungi masyarakat adat sebagai pemilik tanah dari eksploidasi dan marginalisasi kapitalisme.

8. Agama Kristen sebagai salah satu sumber utama sosialisme Melanesia

9. Menekankan nilai-nilai budaya melanesia.

         

Perbedaan antara sistem sosialisme Melanesia dan sosialisme Marxis di atas telah memberikan gambaran yang jelas bahwa bentuk-bentuk dari kedua sistem itu. Sosialisme Melanesia bukan bagian dari sosialisme Marxis, 


7. Kesimpulan


Sosialisme Melanesia adalah inti dari kehidupan sosial orang-orang Melanesia yang diwariskan dalam budaya Melanesia sendiri. Sosialisme bagian dari nilai-nilai kebudayaan Melanesia yang menekankan kehidupan sehari-hari orang Melanesia yang saling berbagi, hidup bersama dan secara humanis diantara mereka. Sistem kehidupan sosial dengan mengutamakan kebersamaan secara kolektif dan komunalisme ini sudah ada sejak bangsa Melanesia ada di sini, sebelum mereka kontak dengan dunia lain termasuk kristen dan pemerintah kolonial. 


Akan tetapi, sosialisme melanesia bukan satu-satunya dalam budaya Melanesia dan bukan juga hukum dasar dari Melanesia, selain sosialisme masih ada pandangan dunia lain yang diyakini dan menjadi dasar hidup manusia Melanesia. Antara lain, pandangan tentang demokrasi, keadilan, perdamaian, individualisme, kapitalisme tradisional, komunalisme, federalisme, atau perserikatan. Semua ini bersumber dari satu hukum bersama disebut kebudayaan.


Sosialisme Melanesia secara mendasar berbeda baik dari segi latar belakang, bentuk, dan isinya dengan sosialisme dari Karl Marx, sosialisme Melanesia bukan bagian dari sosialisme Marxis. Kedua teori ini berdiri masing-masing dan dapat dipisahkan secara jelas.    


___

Bibliografi


• Dixon, Jennifer. (ed). 2007. Northwest Coast Peoples. USA: Kids Discover, LLC. https://www.hmhco.com. 


• Halliday, W. M. 1935. Potlatch and Totem. And The Recollections of an Indian Agent. London and Toronto: J. M. Dent & Sons Ltd.


• Joy Forgwe, Martina. 2002. African Socialism and Attaining the Pan-African Ideal: Tanzania and Kenya, 1950-1970. At Kalamazoo College. 


• Kadri, Ali. 2016. The Unmaking of Arab Socialism. Anthem Press.


• Malinowski, Bronislaw. 1919. The Sexual Life of Savages. in North-Western Melanesia. London: George Routledge & Sons, Ltd.


• Malinowski, Bronislaw. 1920. "Kula: The Circulating Exchange of Valuables in the Archipelagoes of Eastern New Guinea." Man 20: 97-105.


• Malinowski, Bronislaw. 1922. Argonauts of the Western Pacific. An Account of Native Enterprise and Adventure in the Archipelagos of Melanesian New Guinea. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.


• Malinowski, Bronislaw. 1935. Coral Gardens and their Magic, Vol. I: Soil-Tilling and Agricultural Rites in the Trobriand Islands. London: Allen and Unwin.


• Malinowski, Bronislaw. 1961. A Scientific Theory of Culture and Other Essays. Oxford: University Press.


• Malinowski, Bronislaw. 1962. Sex, Culture, and Myth. New York: Harcourt, Brace & World, Inc. 


• Mauss, Marcel. 1954. The Gift The form and reason for exchange in archaic societies. London and New York: Routledge.


• Marx, Karl. 1953. Grundrisse der Kritik der politischen Ökonomie (Rohentwurf, 1857-1858). 


• Marx, Karl. 1867. Das Kapital. MEW


• Marx, Karl, and Friedrich, Engels. 1975. Werke. Band 20. Dialektik der Natur. Berlin. Dietz Verlag. 


• Marx, Karl, and Friedrich, Engels. 1888. Communist Manifesto. Various editions. Cf. esp. Russ. 


• Marx, Karl. 1846. Die Deutsche Ideologie. M EW 3


• Huberman, Leo and Sweetzy, Paul M. 1969. Socialism in Cuba. New York and London: Monthly Review Press. 


• Morgan, Levis Henry, LL. D 1877. Ancient Society: Researches in the lines of human progress from savagery thought barbarism to civilization. Chicago: Charles H. Kerr and Company.   


• Premdas, Ralph R. 1987. Melanesian Socialism: Vanuatu’s Quest for Self-Definition and Problems of Implementation. Pacific Studies, Vol. 11, No. l--November 1987. P. 107-129.


• Williams, Justin. 2011. Pan-Africanism in One Country: African Socialism, Neoliberalism and Globalization in Ghana. Umo ProQuest LLC. (Ph.D. Disertation).

Komentar

Harus Kena Konteks, Bukan Kena Kosong

JOKOWI HIANATI DAN SALIBKAN LUKAS ENEMBE

Perang Dunia III : NKRI dan West Papua

Edisi 5/5 Mengenang Agus A. Alua : Alter-Kristus Pejuang Papua