Edisi (2/5) Paskah: Pembebasan di Papua

 


*Refleksi Teologis Pembebasan*

Oleh, Mikael H. Aud

 

Perayaan Paskah yang menjadi tradisi gereja Kristen (Katolik) menurut kaleder liturgis pada tahun ini (2023) jatuh pada bulan April. Serentak dirayakan secara universal. Perayaan ini menjadi satu-satunya inti, pusat, pokok, substansi dari seluruh kerangka eksistensi gereja itu sendiri.“Pergilah dan beritakanlah; Kerajaan Sorga sudah dekat. Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan (Mat 10: 7, Mark 6 : 6b-12). Dan pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Mat 28 : 19-20); yakni amanat agung Yesus kepada para rasulnya sesudah Yesus bangkit, yang menjadi makna eskalogis, kristologis, trinitaris, dan soteriologis. Karena itu Yesus sediri pula menetapkan Paskah atas  salib, wafat dan kebankitan-Nya yang mendamaikan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, manusia dengan alama semesta. Jadi ini bukan sekedar konteks sebatas tradisi dan aturan ligtugis gereja yang merayakan Paskah (dan Natal) tetapi lebih daripada itu adalah pesta pembebasan (konteks antropologis, spiritual dan politis) yang terus berlangsung.

Dalam konteks yang demikian penulis merefleksikan eksistensi gereja (Kristen) Papua. Di mana semata-mata  sejak hadirnya Gereja Protestan membuka misi Pada tanggal 5 Februari 1855, oleh dua orang misionaris asal Jerman yang bernama Carl Wilhelm Ottouw dan Johann Gottlob Geissler_dan  Gereja Kristen Katolik oleh Pater Le Cocq yang pertama kali tiba di Sekeru, Fak-Fak pada 22 Mei 1894 dan selanjuntnya membuka misi di Papua sampai saat ini menjadi bagian dari penghayatan hidup orang Papua. Karena sejak misionaris datang bukan tangan kosong, dan pula sebaliknya bukan datang di tempat kosong- tetapi misionaris (gereja) datang membawa misi amanat agung Yesus yang bangkit di kenteks orang Papua-dimana Paskah adalah satu-satunya alasan di dalam keseluruhannya misionaris hadir di tengah-tengah manusia Papua untuk menyatakan peristiwa pembebasan yang Allah nyatakan di dalam diri Kristus itu yang  sama pula kepada orang Papua. Tetapi jangan lupa juga bahwa di pihak lain pemerinatah hadir di tengah-tenga orang Papua. Hemat pertanyaannya adalah apakah orang Papua mengalami pembebasan itu (sebagaiman Paskah dimaknai)? Dan itu terjadi dalam konteks apa?

Paskah Sebagai Perayaan Pembabasan

Paskah adalah sebagai perayaan pembebasan bagi umat Israel (Yahudi) dan Kristen (Protestan maupun Katolik). Sudah menjadi peristiwa rahasia umum dalam tradisi yang sangat tua.  Perayaan pesta Paskah Yahudi atau Israel (Hag ha-pesakh) biasanya jatuh pada musim semi bulan Maret-April, masa ketika bunga bermekaran, yakni pada tanggal 14 Nisan di saat bulan purnama atau berselang 1-2 hari sesudah bulan purnama. Biasanya setelah perayaan Paskah disusul dengan perayaan Roti tidak beragi. Tradisi Paskah ditandai dengan masing-masing kepala keluarga membunuh seekor domba jantan yang berumur setahun pada hari ke sepuluh bulan. Dan makan bersalama dalam persekutuan (Konstantinus Bahang, Sakramen Ekaristi: 2022). Paskah  Yahudi dirayakan dengan motivasi membarui sikap dan pengucapan syukur dengan sukacita atas pembabasan Allah.Sebagaimana di Mesir orang Israel diperbudak dalam kerja paksa pembunuhan anak di bawah kekuasaan penjajahan Fiaun selama 400 tahun (Kel 12:40). Dan Allah mengutus Musa untuk membebaskan Israel dari perbudakan itu. Allah membebaskan Israel melalui tanda  dan di mana peristiwa itu  menjadi inspirasi dan lambang pengharapan bagi bangsa Israel. Karena itu setiap tahunnya bangsa Israel melaksanakan pesta Paskah (bdk Alon Mandimpu Nainggolan, Menggagas Penggunaan Benih dalam Perayaan Paskah: Analisis Biblikal Yohanes 12:20-26).

Paskah bagi Kristen adalah peristiwa salib, wafat dan kebangkitan Yesus. Biasanya gereja Kristen (Katolik) merayakan di  setiap tahun dalam bulan (Maret atau April). Sebagaimana pada tahun (2023) paskah tepat dirayakan pada bulan April. Tiba pada hari rayanya dimasuki dengan Minggu Palma sebagai hari peringatan Yesus masuk kota Yerusalem yang menjadi tempat hukuman mati Yesus; Kamis Putih adalah mengenang malam terakhir Yesus bersama kedua belas murid sebelum Yesus mati di salib yang memecahkan roti dan anggur sebagai tanda perjanjian baru; Jumat Agung sebagai jalan penderitaan dan matinya Yesus di Salib; Sabtu Suci sebagai malam kebangkitan Yesus; dan Minggu adalah hari raya Paskah atas peristiwa Salib, Kematian dan Kebangkitan Yesus itu sendiri  yang mengunkapkan seluruh makna terdalam wahyu Allah (Gabe Huck, Liturgi : 2001).

 “Andaikata Kristus tidak dibangkitkan, sia-sialah pengajaran kami dan sia-sialah kepercayaan kamu ( I Kor 15 : 14). Yakni mengandung makna yang terdalam dan mengungkapkan secara padat seluruh isi iman Kristen” (Agus A. Alua, Persoalan Sekitar Kebangkitan Badan Yesus:  1087). Isi iman Kristen yang adalah Yesus pada diri-Nya secara penuh Allah mewahyukan. Wahyu yang menjadi rahasia dalam rencana Allah untuk pelaksanaan karya keselamatan. Di mana manusia dibebaskan dari seluruh belenggu dosa dan mendamaikan manusia dengan Tuhan, sesama, alam semesta, dan leluhur. Karena Yesus telah mengalami kematian yang mengandung dosa dunia (dosa kita semua) dan menjalani hukumannya di jalan salib dengan taat.

Di mana peristiwa Salib, Wafat, dan Kebangkitan inilah menjadi titik tolak mengapa Paskah dirayakan dalam seluruh kerangka pembebasan manusia. Sekiranya tradisi ini bagi orang Kristen bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan, lantas karena peristiwa pembebasan manusia dari seluruh perbudakan dosa manusia itu sudah nyata dalam seluruh eksistensi gerejanya. “Melalui Roh-Nya, Kristus sendiri tetap hadir dalam dan pada Gereja. Tuhan yang kini hadir dalam Gereja ialah Tuhan Mulia, Yesus Kristus yang telah bangkit dan kini duduk di sisi kanan Allah Bapa dalam kemuliaan surgawi untuk menyelamatkan manusia (Nico Dister, Pengatar Teologi : 1991).

Maka konteks Paskah ini bukan sekedar tradisi passif, dimana peristiwa pembebasan itu terjadi pada masanya dan kini hanya dirayakan sebagai ungkapan kosong (sekedar makna). Lebih daripada itu peristiwa Paskah sedang berlangsung di tengah-tengah hidup manusia dan melangsungkan kebebasan bagi siapa saja melalui gerejanya. Kristus yang tersalib, wafat dan bangkit sedang dihadirkan kepada semua kalangan agar menglamai pembebasan yang sama.

Paskah : Pembebasan di Papua

Perayaan Paskah ini tidak terlepas dari misi dan kehadiran gereja (Kristen) di Tanah Papua. Gereja yang dimakud adalah Kristen Protestan umumnya dan Katolik khususnya dalam konteks penulisan ini. Protestan pada umumnya dimulai oleh seorang Jerman, Carl Wilhem Ottow (1826-1862) dan Johan Gottlob Geisler (1830-1870) yang hadir dalam hidup masyarakat Papua di Mansinam, Manokwari (Sostenes Sumihe, Pembangunan Papua Dimulai Dari Mansinam: 2023). Sementara misi Katolik pada  22 Mei 1894, Pastor Kornelius Le Cocq D’Armandville dimulai dari Skroe dekat Fak-Fak, Papua ( Izak Resubun, Sejarah Gereja Katolik Indonesia dan Papua: 2013. Warta misionaris yang diletakan awal hingga saat ini adalah wahyu keselamatan Allah yang disingkapkan dalam diri Kristus yang tersalib, wafaf dan bangkit. Akibatnya adalah Paskah itu kini dimaknai dalam kehidupan orang Papua melalui gereja-nya (Kristen)..

Menjelaskan bagaimana secara implisit Paskah sebagai pembebasan di Papua sebenarnya tidak rumit untuk dipahami. Ketika gereja hadir, saat yang bersamaan sebenarnya Paskah itu di bawah ke Papua dan dialami orang Papua. Karena gereja hadir dan mewartakan misinya dari amanat agung Kristus yang tersalib, wafat dan bangkit itu. Dan gereja yang mewartakan pun meletakan dasar iman di atas Yesus yang tersalib, wafat dan bangkit itu pulu, di mana Allah mewahyukan keselamatan dalam diri Yesus sendiri. Sebagaimana dihubungkan dengan tulisan Agus, A. Alua  tentang “Persoalan Sekitar Kebangkitan Yesus”, adalah jika Yesus yang tersalib, wafat itu tidak bangkit maka iman gereja yang kini mustahil ada. Misionaris yang hadir membawa misi ke Papua tidak mungkin merintis. Justru karena Kristus yang bangkit dari peristiwa salib dan dan wafat itulah menjadi pusat, inti, pokok, substansi, hakikat dalam gereja yang hadir dan menyatakan iman atas itu. Karena itu penulis yakin dan hendak menjelaskan bahwa paskah pembebasan yang dialami oleh (Israel, non Yahudi) “orang barat” kini juga dialami oleh orang Papua. Maka pertanyaannya adalah apakah orang Papua mengalami pembebasan dalam Kristus itu? Dan itu terjadi dalam konteks apa? Bagaimana kini Gereja (Papua) memaknai dalam Paskah? Singkatnya adalah dialog antara kehadiran gereja yang membawa injil Yesus yang tersalib, wafat dan bangkit itu bagaimana orang Papua mengalami pembebasan dosa yang memungkinkan perdamaian dengan Tuhan, leluhur, sesamadan alam semesta di Papua.

Hemat penulis dalam menjelaskan ini, tentu sebelum gereja datang (juga pemerintah Belanda maupun Indonesia) orang Papua hidup dalam kebudayaan. Fase ini orang Papua hidup seturut antorpologisnya. Fese kedua gereja masuk adanya kontak yang terjadi proses inkulturasi, asimilasi, dan pun sintesa yang melahirkan paham baru yakni keselematan di dalam gereja. Keselamatan di dalam gereja itu adalah melalui Kristus yang tersalib, wafat dan bangkit. Fase kedua  laiinnya pada saat yang bersamaan pemerintahan juga masuk dan menghadirkan sistem, sosial, ekonomi, politik, kesehatan dalam cara pandang yang baru terhadap masyarakat Papua. Fase ketiga adalah peleburan di antara pihak gereja dan pemerintah yang memungkinkan bagaimaana perspentif orang Papua, dan selanjutnya mereka hidup sebagai umat Tuhan di satu sisi, sebagai warga negara di lain sisi tetapi juga sebagai masyarakat adat di lain pihak lain.  Bersambung (Akan dimuat edisi 3/5)

Penulis Adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur”-Abepura Papua

Referensi :

Agus A. Alua, Persoalan Sekitar Kebangkitan Badan Yesus:  ( Skiripsi : 1087)

Alon Mandimpu Nainggolan, Menggagas Penggunaan Benih dalam Perayaan Paskah: Analisis Biblikal Yohanes 12:20-26)

Dister Nico, Pengatar Teologi, Yogyakarta ( Kanisius : 1991)

Gabe Huck, Liturgi, Yogyakarta (Kanisius : 2001)

Izak Resubun, Sejarah Gereja Katolik Indonesia dan Papua: Jayapura-( STFT : 2013)

 Konstantinus Bahang, Sakramen Ekaristi: STFT “Fajar Timur”, 2022.

Sostenes Sumihe, Pembangunan Papua Dimulai Dari Mansinam: Jayapura, 2023

 

 

Komentar

Harus Kena Konteks, Bukan Kena Kosong

JOKOWI HIANATI DAN SALIBKAN LUKAS ENEMBE

Perang Dunia III : NKRI dan West Papua

Edisi 5/5 Mengenang Agus A. Alua : Alter-Kristus Pejuang Papua