Agus A. Alua: Harus Kena Konteks Bukan Kena Kosong! Edisi 1/3


( Pembebasan Dalam Arti Antropologi, Iman dan Politik)

 

Oleh, Mikael H. Aud

Agus: Kematian Misterius

Desas-desus kematian Agus A. Alua menjelang Paskah 7 April 2011 silam sungguh misterius. Saat gencarnya penolakan kegagalan Otsus dan permintaan referendum yang dilakukan melalui Mubes MRP yang diketuai olehnya, beliau meninggal mendadak. Sekan-akan rakyat Papua apalagi keluarganya diulagi mimpi buruk dalam kejahatan bertubi-tubi di atas penderitaan, penjajahan, pembunuhan yang dilakukan oleh NKRI dari tahun 1961. Bukan tidak mungkin NKRI adalah neoklonilisme atheis (tidak bertuhan) di wajah dunia yang mempraktetakan sistem barbarisme di Papua. Demi eksploitasi sumber daya alam, migrasi dan investasi di Papua yang disebut nan “surga kecil” yang jatuh ke bumi penuh susu, madu, emas, tembaga, thorium, nikel, kombat, kelapa sawit, migas, ikan-udang, dan lain sebagainya. Tampaknya NKRI merasa bahwa nyawa orang Papua dan sumber daya alamnya sudah dibeli melalui Otsus yang isinya hanya 7-8 triliun pertahunan (Adi Saputro, Otsus Papua Jadi Kompromi Atas Seruan Papua Merdeka: 2023). Heran, sungguh heran tapi apalah dikata? Agus. A. Alua bersama tokoh pejuang laiinya yang memperjuangkan hak-hak hidup masyarakat Papua dibunuh penuh taktik strategis, mulus, santai dan pasti seakan-akan suara mereka adalah kentut bau busuk di hidungnya NKRI. Sadar bahwa orang Papua adalah manusia yang Tuhan ciptakan dengan harkat dan martbat di atas tanahnya sendiri untuk hidup damai dengan sesama, leluhur, alam semesta, dan Tuhan yang behak menentukan kebebasannya.

Menggenang Melalui Karyanya

Dalam menggenang kematian Agus A. Alua tokoh pejuang pembebasan Papua ini penulis hendak mengubris sedikit karya dan perjuanggannya besarnya. Yang semata-mata dari seluruh karya itu, ditemukan gagasan khas baginnya adalah “harus kena konteks bukan kena kosong”. Seperti ditemukan dalam buku “Nilai-nilai Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem,Papua yang diterbitkan pada tahun 2006, dan buku Karakteistik Dasar AGAMA-AGAMA MELANESIA, diterbitkan pada tahun 2004 _yang pada buku kedua ini dibahas dalam satu bab tersendiri dengan judul Tem Of Referece (kerangka acuan). Didukung juga oleh pastor Tarsisius Singga Lengari, Ofm dosen Teologi Spritual STFT “Fajar Timur”, saat beliu menjadi mahasiswa bimbingannya Agus A. Alua, mengatakan bahwa hampir dalam cerama mata kuliah Agus, dia selalu memberi penenkanan “harus kena konteks bukan kena kosong”. Maka menurut hemat penulis, gagasan itu tampaknnya mengungkapkan makna langsung atas seluruh karya dan dedikasi Agus dalam seluruh perjuangannya sebagai Alter-Kristus sejati yang menyiratkan tiga poin penting, pembebasan dalam arti antropologis, politis dan iman. Kenapa demikian adalah hubungan kedekatan hukum sebab akibat antara kesan dan gagasan (Metode Filsafatnya David Hume). Seperti contoh, membicarakan dialog Papua-Jakarta maka ingakatan kita akan menyingkapkan Pastor Neles Tebay pengagas dialog, atau sebaliknya mengingat Agus A. Alua maka ingakatan kita merujuk pada seluruh karya dan pejuangannya yang memberi arti “harus kena konteks bukan kena kosong”.

Refleksi “Harus Kena Konteks, Bukan Kena Kosong: Pembebasan Dalam Arti Antropologi, Iman dan Politik

Yang pertama aspek antrpologis. Dalam kebudayaan, yang tentu hubungan kesadaran norma, nilai-nilai hidup, warisan kekayaan alam, asal-usul, kesenian, pengetahuan, religi, dan lain sebagainya sangat penting bagi orang Papua. Dan itu Agus mengerjakan dalam bukunya tetapi juga menunjukan dalam seluruh kebijakan sejak menjabat sebagai ketua STFT “Fajar Timur” dan  MRP, lembaga representatif kultural rakyat Papua. Kedua, aspek iman. Sejak diwartakan injil Yesus yang tersalib, wafat dan bangkit yang diwartakan gereja, orang Papua menyadari itu sebagai jalan pembebasan dunia menuju kepada makna eskatologis-soteriologis (keselamatan sesudah kematian). Tentu pula Agus mengerjakannya dalam beberapa karangan teologis serta sejarah injil masuk_yang sekaligus dia sendiri menyelesaikan studinya di bidang spesialisasi Alkitab. Ketiga aspek politik. Hidup orang Papua yang terancam “punah” akibat penjajahan dalam tubuh pemerintahan NKRI adalah pelanggaran HAM. Membunuh manusianya tetapi juga mengespolitasi sumber daya alam, serta mengahancurkan nilai-nilai kebudayaan secara sistematis massif adalah kenyataan politik. Yang sangat pasti orang Papua bangkit melawan dan mengaungkan pembebasan sebagai hak martabat kemanusiaan yang berbudaya tetapi juga ber-Tuhan. Kesadaran seperti ini sudah terlihat dalam perjuangan para imam, pendeta, dan awam Papua yang melawan hingga nyawa mereka dipertaruhkan. Seperti pastor Neles Tebay yang mengagas dialog Papua-Jakarta untuk penyelesaian persoalan Papua atas panggilan misinya hingga nyawanya pun rela berkurban. Atau Thesy Hilo Eluay ondofolo yang tegas dan vocal bersama para tokoh-tokoh memperjuangkan pembebasan Papua hingga nyawanya tidak selamat. Persis juga Agus A. Alua hadir dalam kesadaran itu yang bukan semata-mata demi suaka politik belaka, tetapi memperjuangkan atas panggilannya untuk pembebasan demi penentuan nasip sendiri yang bermartabat bagi orang Papua. Sebagaimana dengan tangannya sendiri menuliskan dalam bukunya yang berjudul “Peringatan 41 Tahun Tragedi Kejahatan Terhadap Kemanusian Papua dan Kemerdekaan Papua Barat” di akhir kata riwayat hidupnya bahwa  sampai sekarang (akhir perjuangan saya) panggilan untuk tanah air Papua. Dan nyatanya dia mengwujudkan itu tanpa memikirkan keselamatan nyawanya sendiri, yang justru dibunuh oleh NKRI di jalan perjuangan.

Dengan demikian, selanjutnya penulis akan merespons satu-persatu pembebasan “Harus Kena Konteks Bukan Kena Kosong, dalam arti antropologis, iman dan politik dalam seluruh eksistensi orang Papua sebagai respons atas perjuangan Agus A. Alua sebagai Alter-Kristus pejuang sejati Papua. Latar pemikiran yang cukup mewarnai hidup serta karyanya yang menurut penulis penting untuk dinarisikan. Bersambung!

Penulis Adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Jayapura-Papua

Sumber:

Agus A. Alua, Biro Penelitian STFT “Fajar Timur”,

_“Nilai-nilai Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem,Papua yang diterbitkan pada tahun 2006

_Karakteistik Dasar AGAMA-AGAMA MELANESIA, diterbitkan pada tahun 2004  

_Peringatan 41 Tahun Tragedi Kejahatan Terhadap Kemanusian Papua dan Kemerdekaan Papua Barat, diterbitkan 2002

Artikel-Adi Saputro, Otus Papua Jadi Kompromi Atas Seruan Papua Merdeka: 2023

Ignatius Lengari, Sejarah Pemikiran Modern dan Post-Modern, Jayapura (STFT “Fajar Timur” : 2022)


Komentar

Harus Kena Konteks, Bukan Kena Kosong

JOKOWI HIANATI DAN SALIBKAN LUKAS ENEMBE

Perang Dunia III : NKRI dan West Papua

Edisi 5/5 Mengenang Agus A. Alua : Alter-Kristus Pejuang Papua