Edis 1/5 Paskah Sebagai Anemnese Pebebasan
*Pendekatan
Teologi Pembebasan*
Oleh Mikael H. Aud
Prolog
Paskah
sudah menjadi rahasia umum dalam tradisi orang Yahudi dan orang Kristen
(Katolik). Perayaan pesta Paskah Yahudi (Hag ha-pesakh) biasanya jatuh pada
musim semi bulan Maret-April, masa ketika bunga bermekaran, yakni pada tanggal
14 Nisan di saat bulan purnama atau berselang 1-2 hari sesudah bulan purnama.
Biasanya setelah perayaan Paskah disusul dengan perayaan Roti tidak beragi.
Tradisi Paskah ditandai dengan masing-masing kepala keluarga membunuh seekor
domba jantan yang berumur setahun pada hari ke sepuluh bulan. Paskah Yahudi ini dirayakan dengan motivasi membarui
sikap dan pengucapan syukur dengan sukacita atas kebebasan dari perbudakan di
Mesir.
Sedangkan
biasanya gereja Kristen (Katolik) merayakan di setiap tahun dalam bulan (Maret atau April).
Sebagaimana pada tahun (2023) paskah tepat dirayakan pada bulan April. Tiba
pada hari rayanya dimasuki dengan Minggu Palma pada tanggal 3-sebagai hari
peringatan Yesus masuk kota Yerusalem; Kamis Putih pada tanggal 6-mengenang
malam terakhir Yesus bersama kedua belas murid sebelum Yesus mati disalib;
Jumat Agung pada tanggal 7-sebagai jalan penderitaan dan matinya Yesus di
Salib; Sabtu Suci pada tanggal 8-sebagai malam kebangkitan Yesus; dan Minggu
pada tanggal 9 adalah hari raya Paskah atas peristiwa Salib, Kematian dan kebangkitan
Yesus.
Dalam
memperjelas substansi paskah ini dalam tradisi yang demikian penulis
menyorotinya sebagai anamnesis (mengenang) pesta kebebasan (dalam arti politis
dan spiritual). Unsur yang memperlihatkan itu adalah kaitan dengan perjalanan
bangsa Yahudi (Israel) dalam sejarah kebebasan di Mesisr dari penjajahan Firaun
dan kedatangan Yesus untuk membebaskan manusia dalam arti wahyu dan iman sebagaimana
paskah dimaknai sampai kini. Maka hemat pertanyaannya untuk lebih memperjelas
adalah paskah sebagai kebebasan itu dari apa? Untuk siapa? dan bagaimana itu
dijelaskan dalam pendekatan teologi pembebasan?
Pendekatan Teologi Pembebasan Dalam
Konteks Paskah
Teologi
umumnya terdapat empat bagian besar yakni Teologi Dasar, Teologi Tafsir Kitab
Suci, Teologi Dogma dan Teologi Praksis (Nico Dister, Pengatar Teologi : 1991). Pendekatan teologi kebebasan (teologi
libertarianisme) adalah bertalian dengan situasi sosial kongkrit (bdk, Frans
Magnis-Suseno, Teologi Pembebasan,1984
), mengenai hal kemiskinan, ketidakadilan, intimidasi, kekerasan,
marginalisasi, pembunuhan, dan pelagaraan hak hidup manusia; yang dimana Allah
hadir dalam pribadi setiap orang pilihan (nabi, gembala dan sesama) dan
semata-mata Allah menyatakan kebebasan itu dalam keadaan terlibat (Frans Guna
Langkeru, Teologi Sosial : 2021). Di
mana pada konteks Israel dalam masa perbudakan di Mesir, Allah mengutus Musa
untuk membebaskan mereka (Kel 6: 12)) dan hal yang sama Allah mengutus Yesus
untuk membebasakan umat manusia dalam perbudakan “dosa” (juga perbudakan di
masa imperium romawi) yang menyimpan dari keterikatan dengan Allah.
Beberapa Istilah paskah?
Etimologi
Paskah (Ibr: Pesakh) dan (Yunani: Paskha) berarti melewatkan, yakni kisah Allah
membunuh (Pesakh) anak-anak sulung Mesir (Harls Evan Siahaan, Mengajarkan Nasionalisme Lewat Momentum
Perayaan Paskah: Vol 1). Kemudian kata Paskha diterjemahkan ke dalam
Alkitab bahasa Inggris sebagai Passover (lewatkan),
tetapi dalam Kisah (Kitab PB) memakai kata Easter
(peseta kebangkitan), sementara dalam terjemahan New King james Version,
kata Easter sudah memakai kata Passover yang merujuk pada kisah
pemakanaan Israel di mana Allah lewat dan membunuh anak sulung sebagai tanda
pembebasan dari perbudakan Firaun, dan kemudian dimaknai dalam kebangkitan Yesus
sesudah wafat tiga hari (dbk, Christopher
Sean Gavriel, “Pasover Atau Easter?,” Https://Student-Activity.Binus.Org.Ac.Id.)
Jadi istilah paskah merujuk pada dua peristiwa antara peringatan pembebasa
Israel dari perbudakan dan kebangkitan Yesus yang menyatukan manusia dengan
Allah.
Paskah Bagi Bangsa Israel
Paskah
bagi Israel dapat dipahami sebagai peristiwa perbuatan Allah yang telah
membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir oleh Firaun. Sebagaimana di
Mesir orang Israel diperbudak dalam kerja paksa pembunuhan anak. “Pengawas-pengawas
rodi ditempatkan atas mereka (Israel) untuk menindas mereka dengan kerja paksa
dan mereka harus mendirikan bagi Firaun kota-kota pebekalan, yakni Pitom dan
Raamses. Dan mengerjakan tanah liat, batu bata, dan segala pekerjaan di ladang (perkonomian);
dengan kejam dipaksakan orang Mesir kepada mereka. Termasuk diperintahkan
Firaun kepada bidan saat bersaling anak laki-laki Israel harus dibunuh” (Kel 1:
18) yang berjalan selama 400 tahun di bawah penjajajahan Firaun (Kel 12:40).
Karena
itu Allah memanggil Musa untuk menuntun Israel keluar dari Mesir ditandai
dengan tula. Menjelang Israel keluar
dari Mesir, Allah memberi perintah kepada Musa supaya tiap-tiap keluarga
menyembelih anak domba jantan dan memercikan darahnya di setiap pintu, agar
ketika Allah melalui rumah-rumah Israel, mereka terhindar dari kematian anak
sulung. Peristiwa keluaran memberi inspirasi dan lambang pengharapan bagi
bangsa Israel. Untuk mengenang peristiwa ini, setiap tahunnya bangsa Israel
melaksanakan pesta Paskah. Allah telah membebaskan Israel dari Mesir dan
mengaruniakan kepada mereka “suatu negeri yang baik dan luas, negeri yang
berlimpah susu dan madunya.” Setiap tahun Exodus dari Mesir tetap terkenang;
suatu kenangan yang membangkitkan kembali keberanian dan kekuatan yang membawa
pengharapan dan kerinduan akan pembebasan yang datang dari Allah sendiri.
Itulah makna pesta Paskah yang tetap hidup bagi orang Yahudi di antara masa
lampau dan masa depan (bdk Alon Mandimpu Nainggolan, Menggagas Penggunaan Benih dalam Perayaan Paskah: Analisis Biblikal
Yohanes 12:20-26)..
Paskah Bagi Umat Kristen
Kondisi Politik Periode Perjanjian
Baru
Latar
belakang politik dalam dunia Perjanjian Baru adalah kekaisaran Romawi. Negara
Romawi berdiri tahun 753 SM. Merrill C.
Tenney dalam bukunya Survei Perjanjian Baru telah memberikan uraian terperinci dalam
kaitan masa Yesus : Pertama adalah Kaisar Agustus pada 27 SM – 14 M, dimana
kaisar ini memerintah saat Yesus Lahir. Kedua adalah kaisar Tiberius pada tahun
14-37 M, yang memerintah saat Yesus dewasa sampai Yesus mati.
Pada
zaman Yesus Kristus ini , Romawi merupakan bangsa yang menerapkan penyaliban
sebagai metode utama hukuman mati. Romawi secara rutin menyalibkan para
pemberontak terutama orang Yahudi. Misalnya, pada 4 SM bangsa Romawi menyalibkan sekitar 2.000 orang
Yahudi. Yosephus ahli sejarah pada abad pertama mencatat penyaliban massal yang
terjadi selama perang Yahudi, termasuk penganiayaan di bawah Kaisar Tiberius
pada 19 SM, penghancuran Yerusalem pada 70 M yang mengakhiri negara Yahudi, dan
akhirnya pemberontakan Bar-Kochba yang gagal untuk memulihkan negara Yahudi
pada 135 M. Penyaliban massal oleh tentara Romawi juga dicatat oleh Lucius
Anneus Seneca (4 – 65 M). Dan sistem hukuman penyaliban dihapuskan oleh kaisar
Romawi Kristen pertama, Konstantin I, pada 337 M.
Kematian Yesus dan Paskah
Dalam
konteks kerajaan Romawi itulah Yesus hadir. Yesus menggenapi wahyu Allah atau
menjadi puncak wahyu. Tujuan adalah
melaksanakan misi Allah untuk membebaskan manusia dari belenggu dosa. Untuk
mencapai tujuan itu Yesus melalui dengan jalan tragis, yakni dengan tersalib. Karena itu Yesus
memulai perjalanan mulannya di Galeliea dengan mewartakan kerajaan Allah dan
seruhkan pertobatan, serta Ia memanggil para rasulnya. Setelahya Yesus
pergi ke Yerusalem tempat Dia akan
melakukan peristiwa kematian tragis itu. Malam sebelum Yesus di Salib Yesus berkumpul dengan murid – murid- Nya dan
menetapkan pengenanagan (anemnese) Perjamuan Paskah terakhir. Dalam Perjamuan
itu Dia mengungkapkan Perjanjian Baru yang simbolik : “Dan ketika mereka sedang
makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu
memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata: "Ambillah, makanlah,
inilah tubuh-Ku." Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu
memberikannya kepada mereka dan berkata: "Minumlah, kamu semua, dari cawan
ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak
orang untuk pengampunan dosa. (Mat. 26:26-28).
Dalam
perjamuan malam terkahir itulah Yesus
melaksanakan konteks paskah yang baru sekaligus Yesus menetapkan ekaristi. Pada
gilirannya seluruh gereja (Kristen) sedunia mengadobsi dalam hubungannya
peristiwa kebangkitan Yesus sebagai anamnese
pembebasan manusia dari dosa. Sebagaimana makna kematian Kristus ini oleh Paul
Enns dalam bukunya The moody handbook of theology, menyatakan beberapa hal: pertama, subtitusi penekanan dalam Perjanjian
Baru bahwa Kristus mati sebagai pengganti orang berdosa. Kedua, kematian-Nya
disebut vicarious, artinya “seorang sebagai pengganti yang lain.” Kata ganti
dalam Yesaya (53) menekankan subtitusi
“Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh
karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita
ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.” Ketiga,
kematian Kristus menyediakan penebusan. 1 Korintus 6 : 20 menyatakan bahwa
orang percaya : “telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar.” Akibat lebih
lanjut dari kematian Kristus adalah bahwa manusia, yang telah terpisah dan
diasingkan dari Allah, sekarang diperdamaikan dengan Dia. Permusuhan dan
pemberontakan telah diangkat (Rm. 5 : 10) Keempat, pendamaian Kematian Kristus
juga menyediakan pendamaian, artinya bahwa tuntunan dari Allah akan kebenaran
dari Allah yang kudus telah dipuaskan sepenuhnya. (Roma 3 :25). Kelima, Kematian
Kristus mengakibatkan pengampunan bagi orang berdosa. Allah tidak dapat
mengampuni dosa tanpa pembayaran yang seharusnya; kematian Kristus menyediakan
alat yang sah secara hukum, sehingga Allah dapat mengampuni dosa. (Kol 2:13).
Keenam, hasil lebih lanjut dari kematian Kristus adalah justifikasi bagi orang
berdosa yang percaya akan memperoleh keselamatan kekal.
Epilog
Peristiwa
Paskah yang senantiasa dirayakan Israel setelah keluar dari Mesir merupakan
momentum untuk mengenang pembebasannya. Ini sama halnya paskah bagi Kristen
(Katolik) adalah merayakan peristiwa penderitaan, salib dan kebangkitan Yesus. Titik
poinnya adalah Allah yang menyatakan kuasa untuk membebaskan manusia dari
berbagai penjajahan, penderitaan, dan dosa. Keadaaan Allah yang terlibat dalam
penderitaan manusia itulah yang menjadi kerangka dalam seluruh paskah yang kini
dihuidupi oleh seluruh gereja Kristen.
Penulis adalah Mahasiswa Filsafat Teologi
“Fajar Timur” Abepura-Papua
Sumber Pustaka:
Dister
Nico, Pengatar Teologi, Yogyakarta (
Kanisius : 1991)
Christopher
Sean Gavriel, “Pasover Atau Easter?,” Https://Student-Activity.Binus.Org.Ac.Id.)
Guna
Langkeru Frans, Teologi Sosial :
Bahan Ajar STFT Fajar Timur (2021-2022)
Harls
Evan Siahaan, “Mengajarkan Nasionalisme Lewat Momentum Perayaan Paskah:
Refleksi Kritis Keluaran 12:1-51,” DUNAMIS (Jurnal Teologi dan Pendidikan
Kristiani) Vol 1, no. 2
Magnis-Suseno
Frans, Teologi Pembebasan, Jurnal (
Kompas : 1984)
(2017): 39–54,
Packer
et al., Dunia Perjanjian Baru
(Malang: Gandum Mas, 2000)
Enns, The Moody handbook of theology Jilid 1.
Komentar
Posting Komentar