Edisi (3/5) Paskah : Pembebasan di Papua
(Bebas
dari, Melalui dan Bebas Untuk)
*Refleksi
Teologis Pembebasan*
Oleh, Mikael H. Aud
Prolog
Pada
tulisan edisi (1 dan 2) sudah dijelaskan apa itu paskah. Yakni paskah bagi
orang Israel (Yahudi) adalah perayaan pembebasan dari perbudakan di Mesir, yang
Allah menyatakan pembebasan itu melalui Musa dan Allah membawa mereka ke “Tanah
Kanaan.” Sedangkan Paskah bagi Kristiani adalah perayaan Yesus yang tersalib,
wafat dan bangkit. Di mana manusia didamikan dengan Allah, leluhur, sesama, dan
alam semesta (kosmos). Maka pertanyaan dalam penulisan lanjut ini adalah apakah
orang Papua mengalami pembebasan dalam Kristus yang tersalib, wafat dan bangkit
itu yang kini dirayakan dalam perayaan Paskah? Dan itu terjadi dalam konteks
apa? Dan bagaimana kini Gereja (Papua) memaknai dalam Paskah? Singkatnya adalah
dialog antara kehadiran gereja yang membawa injil Yesus yang tersalib, wafat
dan bangkit itu bagaimana orang Papua mengalami pembebasan dosa yang
memungkinkan perdamaian dengan Tuhan, leluhur, sesama dan alam semesta di
Papua. Sementara di lain sisi juga kehadiran pemerintah menampakan wajah yang
sama di balik topeng “pembebasan” di
tempat yang sama yakni Papua dengan bungkusan agenda lainnya (klonisasi,
kapitalisasi, hingga pelanggaran Ham)
Paskah : Pembebasan di Papua dari Dua
Wajah
Dalam
mengerucut dari judul tulisan ini, kiranya penulis mendahului penjelaskan dalam
dua fase. Yakni suasana hidup orang Papua sebelum, dan sesudah gereja (juga
pemerintah) ada di Papua. Sebelum gereja (pemerintah) datang, jelas orang Papua
hidup dalam kebudayaan. Hidup orang Papua dalam setiap perkelompok suku-suku,
wilayah dengan norma kebisaan (adat istiadatnya) masing-masing. Ketergangtugan
hidup disandarkan pada religi, leluhur, sesama, dan alam semesta. Kemudian
gereja (dan pemerintah) datang terjadinya peralihan dikotomis perfspektif,
penghayatan hingga ketergantungan hidup. Di mana Katolik lebih inkulturatif
menempatkan pada term of referece (kebudayaan) orang Papua, ketimbang Protestan
lebih radikal, kontradiktif terhadap kebudayaan orang Papua (khusunya religi)
di mana dipandang “sembah berhala”. Namun tetaplah keduanya mewarkan Kristus
yang tersalib, wafat dan bangkit dan semata-mata adanya ketergantungan hidup
dalam gereja dalam hubungan eskatologis (kehidupan sesudah kematian). Sementara
itu, pemerintah juga hadir dalam waktu yang bersamaan. Pertama dan utama adalah
mencari wilayah jajahan untuk eksploitasi sumber daya alam, selain membangun
bangunan megah, dan wilayah strategis pemerintahan (tanpa mengedepankan nasip
hidup masyarakat Papua).
Dengan
demikian, kembali pada hemat fokus tulisan ini adalah apakah orang Papua dapat mengalami
pembebasan (Paskah)? Dalam konteks apa? Dan bagaimana itu terjadi? Yakni penulis
menyoroti lebih spesifik persoalan Paskah dalam konteks pembebasan dari,
melalui
dan
untuk di Papua. Pembebasan dari yakni masa pra gereja di Papua, sesudah gereja sampai kini. Dalam
menjelaskan ini aspek yang digeluti adalah penjelasannya bukan poin praktis
liturgis paskah yang sebagaimana mestinya dirayakan atau bukan juga menjelaskan
aspek historis, tetapi hendak disoroti inti dari paskah itu sendiri, yakni
sebagai pemebabasan di Papua.
Paskah: Pembebasan di Papua
Pra Gereja (Kristen)
Tentu secara garis besar orang Papua pada
masanya belum tahu apa itu Paskah karena memang gereja belum hadir. Jelas orang
Papua hidup dalam warisan leluhurnya dalam nilai-nilai kebudayaan. Nilai-nilai
yang dimakud itu sebegaimana yang dituliskan oleh Agus A. Alua dalam bukunya,
“Karektiristika Agama-Agama Melanesia” terdapat beberapa bagian.
Pertama
pandangan orang Melanesia (khususnya Papua) tentang epistemology (pengetahuan).
Yakni pengetahuan tentang asal-usul, hakekat dan batas-batas pengetahuan. Epistemology orang Melanesia (orang Papua)
jarang sekali tampak seperti pengetahuan orang barat yang cenderung
rasionalistik. Singakatnya pengetahuan orang Melanesia adalah pengetahuan
agama, yang bersiafat reflektif empiris dan reflektif religius. Karena itu
mereka mendasarkan hubungan erat pada religi (agama-agama tradisional) sebagai
pusat hidup.
Kedua, Pandangan
tetang dunia. Orang Papua melihat kosmos
sebagai dua relaitas, yakni yang empiris dan non empiris. Yang empiris mencakup
lingkungan alam, sumber-sumber ekonomi, dunia hewan dan dunia manusia.
Sedangkan yang non empiris mencakup adanya roh-roh, kekuatan ilmu-ilmu gaib,
dan totem-totem yang dalam wujud di
baliknya melampai suatu kekuatan. Keduanya tidak saling terpisahkan. Karena
itu, dunia epiris itu orang Papua menjadikannya sebagai relasi yang paling
patent untuk sumber mata pencarian hidup sebagai warisan leluhur (non epiris).
Secara khusus orang Papua memandang alam semesata sebagai “mama yang memberikan
kehidupan”.
Ketiga,
kehimpahan hidup atau keselamatan masa kini. Dalam kaitan ini,segala ritual dan
keagamaan yang dijalankan oleh orang Melanesia (Papua) merupakan serta-merta
demi berkelimpahan hidup. Berkelimpahan
hidup akan harta (babi, kulit bia, petatas belimpah, dll) dan berkelimpahan itu
secara sederhana dan kontrit daripada lebih pada secara filosofis dan teologis.
Keempat, pandangan tentang
keselamatan. Pertama-tama terpusat pada
mite, mite-mite tentang asal usul dan penciptaan akan segala sesuatu yang ada
pada komunitas sosial keagamaan. Mite itu paling umum diterima dalam agama
Melanesia (Papua) adalah kisah dua persaudaraan
yang hidup berdampingan. Hidup berdampingan secara harmonis, damai,
rukun dan tertata. Dan hal demikian dipadang dunia yang sangat ideal (firdaus).
Namun karena perkelahian, kecemburuan seksual-sosial akibatnya kedua saudara
harus berpisah. Perpisahan itu seolah-olah segala sesuatu ikut menghilang (fidaus sirnah). Kisah itu
seoalah-olah awal penyesalan dan saling menuduh hingga berujung pada konflik.
Konfiik atau perang suku diantara satu sub suku dengan suku lainnya. Perang
suku ini berlangsung sah.
Kelima,
relasi dengan sesama manusia. Relasi dengan kosmos dan relasi dengan roh-roh
leluhur (roh leluhur historis maupun roh leluhur mistis). Relasi ini dibangun
demi keberlangsungan hidup di dunia. Dimana ketiga relasi sesama, kosmos, dan
leluhur maka hidup ini berjalan dan sampai pada hidup ideal (seperti alam
firdaus).
Masa
Gereja (Kristen) Ada
Sebelum
membahas lebih jauh, ketika gereja (Katolik dan Protestan) datang membawa injil
akan Yesus yang tersalib, wafat, dan bangkit itu, katakanlah seluruh dunia
(khususnya Papua) dibebaskan permusuhan atau konfik melalui kehadiran sgereja (akhirnya
satu sama lain bisa hidup berdampingan seperti hari ini). Itu suatu kenyataan
yang tidak dapat dibantah lagi, karena berkat Kristus yang tersalib, wafat dan
bangkit yang dikenang dalam perayaan
Paskah.
Selanjutnya beberapa poin mengenai
pembebasan di Papua akan dihubungkan dengan Deklarasi Doa Rekonsiliasi Untuk
Pemulihan Papua yang dilakukan oleh Jaringan Doa Rekonsiliasi Papua 2 (JDRP 2)
pada 26 Maret 2021. Sebagai imformasi tambahan bahwa lahirnya JDRP2 ini kiprah
lain dari JDP (Jaringan Dialog Papua) yang digagas oleh seorang pastor misilog
Papua, Neles Tebay pada 2009 silam,
dimana atas tanggapan pergumulan penjajahan oleh Indonesia di Papua sejak 1961
-2023 yang berlangsungnya ekploitasi, pembunuhan, pelanggaran HAM, marginalisasi,
dan lain sebagainnya secara sistematis, kolektif, massif dan relevan. Neles
berusaha agar dialog antara bangsa Papua dan Indonesia untuk mencari jalan
tengah (Neles Tebay, Dialog Jakarta-Papua:
2015). Sementara itu JRDP2 menjadi dilalog yang bersifat rekonsiliasi atau
pemulihan Papua dalam Kristus yang tersalib, wafat dan bangkit untuk berdamai
dengan Tuhan, alam semesta, sesama, dan leluhur yang sudah dicemar oleh hawa
nafsu manusia.
Berdamai dengan Allah
Kejatuhan
dosa manusia (dosa asal) yang dibuat oleh Adam dan Hawa di taman firdaus
seolah-olah menjadi awal keterpisahan manusia dengan Allah. Kejatuhan manusia
pertama (Adam dan Hawa) ke dalam dosa, manusia yang berkodrat asali: Luhur,
suci dan mulia ((Kej. 1:27) itu, dikotori atau dinodai, sehingga kemuliaan
Allah hilang dari hadapan manusia. Untuk memulihkan kembali hubungan manusia
dengan Allah yang sudah lama terputus, maka Allah membangun hubungan dengan
Abraham, untuk mempersiapkan jalan bagi kedatanagan Yesus sebagai Adam baru
yang menjadi Tuhan, dan Juru selamat yang membebaskan umat Manusia. Yaitu
waahyu yang terggenapi.
Semata-mata
dalam pandagan orang Papua sebelum gereja datang, dimana pencarihan firdaus yang
hilang itu, dengan Yesus Kristus yang tersalib, wafat dan bangkit final diggenapi.
Orang Papua diberi kepastian bahwa Kristus adalah jalan menuju kepada Allah. Sudah
saatnya harus berdamai dengan Allah. Karena Tuhan Yesus datang “bukan untuk
meniadakan hukum/kebudayaan, melainkan untuk mengenapinya (Frans Lieshout, Sejarah Gereja Katolik di Lembah
Baliem-Papua: 2009). Nyatnya hal ini “memang” orang Papua merasakan bahwa
Allah yang mereka cari/telah hilang karena kelakuan manusia itu sudah
diperdaimakan oleh Kristus melalui kehadiran gereja agar kelak mendapat tempat
dalam firdaus surgawi.
Sesama
Sebagaimana
dijelaskan di atas bahwa orang Papua hidup dalam peperangan, namun karena
gereja hadir maka situasi itu sudah ditinggalkan. Usaha ini sudah dijuangkan
oleh para misionari awal, seperti di Merauke. Terutama masyarakat asli (Suku
Marind) sekitarnya memiliki sistem kepercayaan dan praktek-praktek tertentu
yang diwarisi secara turun temurun. Salah satuya adalah kebudayaan mengayau
kepala manusia. Bagi Gereja sangat tentu bertolak belakang dengan hal itu dalam
keprihatinan nilai injilinya. Karena itu (tanggal 29 Januari 1921) Pater
Vertenten merupakan misionaris yang berperan penting melaporkan sejumlah hal
permasalahan agar diselesaiakan. Sosulsi yang dibuat adalah membangun rumah
teladan, dan perlahan membaptis, serta mewartakan injil. Hasil selanjutnya,
satu sama lain berdamai dan memberikan diri untuk menjadi bagian dari pengikut
Kristus. Seperti oleh Emeritus Keuskupan Jayapura, Mgr. Leo Labaladjar
mengatakan pada Minggu (17/4/2022) bahwa, kematian Yesus Kristus hingga
kebangkitannya bukan sekadar untuk menghapus dosa umat manusia. Peristiwa
Paskah menjadi momen peran Yesus untuk mendamaikan umat manusia sesama dan
dengan Allah. Meskipun kenyataannya “saat ini” kejahatan manusia tetap terjadi.
Tetapi tetap ada jalan untuk menuju pertobatan agar terjalin harmonis satu sama
laiinya. Sebagiamana hukum cinta kasih utama dan kedua yang diletakan Yesus
adalah selain mengasilihi Allah, “kasihilah sesama manusia seperti dirimu
sendiri” (Mat 22:37-39). Untuk mengasihi sesama manusia Yesus sendiri
menujukannya melalui salib, wafat dan kebangkitan-Nya.
Leluhur
Perdamiaan dengan dengan
leluhur adalah persoalan bagi Yesus yang tersalib, wafat, dan bangkit. Dimana
kredo iman gereja Katolik tertua merumuskan bahwa “Yesus bangkit naik ke surga,
duduk disebelah kanan Allah Bapa yang Maha Kuasa. Dari situ ia akan datang
mengadili orang hidup dan mati. Aku percaya akan Roh Kudus, persekutuan para
kudus, pengampuna dosa, kebangkitan badan, kehidupan yang kekal “. Merujuk
kepada antrologis orang Papua maka aspek ini sagat erat (leluhur non empiris)
yang semata-mata mereka juga bagian dari manusia dan menantikan pembebasan
kekal dari alam maut, lantas Kristus akan menggepainnya. Itu bukan hanya orang
mati (leluhur) melainkan juga sesmua orang yang hidup ketika mati, akan
dibangkitkan seperti Yesus yang bangkit.
Alam Semesta
Karya
ciptaan Allah yang paling pertama, sebelum manusia adalah alam semesta. “Allah
menciptakan langit dan bumi (Kej 1:1-31). Alam semesta diberikan kuasa kepada
manusia untuk dijaga, dirawat dan melaluinya manusia dapat bertahan hidup (Kej
1: 26). Orang Papua sangat mengahargai aspek ini, bahkan sebelum gereja datang
pun mereka sudah memiliki konsep tersednri terhadap alam semesta untuk dirawat,
dipelihara untuk keberlangsungan hidup. Namun karena kerakusan, kekuasaan
manusia yang berlebihan akibatnya dipandang sebagai modal untuk dieksploitasi
secara semena-mena dengan kerusakan yang luar bisa. Ini sudah menjadi persoalan
global tidak terkecuali juga Papua. Sebagiamana karena sumber daya alam ini semata-mata
menjadi“ketertarikan, menawan, elok, bagaikan wanita perawan” di mata kaum
bangsa Eropa mengusai Papua, secara khusus Indoenesia yang eksploitasi sumber
daya alam di Papua tetapi juga disertai suatu represif wajah baru yakni
pelanggaran HAM secara massif yang dimulai dari 1961 -2023 (Agus. A. Alua. Papua Barat dari Pangkuan Ke Pangkuan:
2006)..
Karena
itu salah satu jaringan yang pemulihan alam semesta di Papua adalah oleh alm.
Mgr. Jhon Plip Saklil dengan gagasan Tungki Api-yang selanjutnya menyeruhkan
stop jual “mama” tanah Papua (Oksianus
K. Bukega, Orang Papua Stop Menjual “Mama” Tanah Papua : 2021). Selanjutnya
juga banyak seruan moral stop jual tanah muncul dari berbagai kalangan,
masyarakat, mahasiswa, gereja dan lain-lain. Salah satunya adalah oleh Mgr.
Yanuarisu Teofilus Matopai You, ketika ditahbiskan menjadi uskup (pada 2
Februari), yang selanjutnya Mgr. Matopai mengeluarkan surat gembala pertama pada
masa menjalang hari paskah (2023) dengan tema “Keadilan Ekologis Bagi Seluruh
Ciptaan: Semakin Mengasihi dan Lebih Penduli. Intinya adalah adil terhadap alam semesta. Peembabasan Tidak Tuntas: Penjajahan. Lantas Yesus yang dirayakan
saat Paskah adalah jalan yang membebaskan seluruh kerakusan terhadap
deforestasi di Papua itu.
Epilog
Paling
tidak melalui kehadirang gereja yang mewartakan Kristus yang tersalib, wafat
dan bangkit sudah memberikan pembebasan di Papua. Adanya usaha sisni-sana yang
lahir demi pembebasan dari, melalui dan untuk di Papua. Karena itu momentum
paskah adalah sebagaimana yang Uskup Jayapura Monsinyur Leo Laba Ladjar pada
Minggu (17/4/2022) menyampaikan, kematian Yesus Kristus hingga kebangkitannya
bukan sekadar untuk menghapus dosa umat manusia. Peristiwa Paskah menjadi momen
peran Yesus untuk mendamaikan umat manusia dengan Allah, serta alam semesata dalam
konteks kongrit di Papua. Meskipun nyatanya juga seluruh pergumulan hidup
(orang Papua) semakin rumit, kopleks dalam segregasi sosial yang amat radikal. Gencarannya
bagaikan arus lirtrik yang tidak dapat lagi dibendunggi.
Pembebasan Belum Final di Papua?
Harus
diakui bahwa paskah adalah pembebasan dari dan untuk menuju kepada kepenuhan
janji Allah, namun tampklah di Papua sampai hari ini belum nyata secara
maksimal. Usaha menuju itu sudah diperjuangkan oleh berbagai pihak, terutama
tokoh-tokoh pejuang Papua hingga nyawa mereka korban seperti Krsitus. Karena
itu mungkin perjuangan, kematian dan kebangkitan pejuang Papua dalam
alterkristus akan dibebaskan? (akan diulas dalam edisi 4/5)!
Penulis Adalah Mahasiswa STFT “Fajar
Timur” Jayapura-Papua
Sumber:
Agus A. Alua, Karakteistik Dasar AGAMA-AGAMA MELANESIA,
Jaypura (Hak Cipta Biro Penelitian STFT “Fajar Timur”: 2004)
Frans Lieshout, Sejarah Gereja Katolik di Lembah
Baliem-Papua Jaypura (Katalog : 2009)
Izak Resubun, Sejarah Gereja Katolik Indonesia dan Papua: Jayapura
( STFT : 2013)
Neles Tebay, Dialog Jakarta-Papua, Jaypura ( SKP:
2015)
Oksianus K. Bukega, Orang Papua Stop Menjual “Mama” Tanah Papua,
Dipongoro (SWUP : 2021)
Sostenes Sumihe, Pembangunan Papua Dimulai Dari Mansinam:
Jayapura, 2023
Komentar
Posting Komentar