JOKOWI HIANATI DAN SALIBKAN LUKAS ENEMBE

 

Oleh: Benyamin Lagowan

 

PENGANTAR

Saat ini Juru bicar Petisi Rakyat Papua (PRP), Victor Yeimo disalib karena memikul beban, masalah dan dosa ribuan orang Papua yang turun mengamuk se Papua tahun 2019 karena disamakan dengan monyet. Maka sama dengan pernyataannya agar Lukas Enembe disalibkan, sekarang mereka berdua sedang dan telah tersalib seperti Yesus yang tersalib hari ini karena memikul dosa-dosa kita di momen paskah ini. Mereka disalibkan oleh rezim Herodes Jokowi dan kroninya.

Penangkapan dan penahanan Gubernur Papua, Lukas Enembe masih menjadi kontroversi hingga saat ini. Banyak pihak menilai ada keanehan dibalik ditangkapnya LE pada awal tahun 2023 lalu.

Spekulasi demi spekulasi pun muncul bahwa terdapat permainan dibalik penahanannya  berkaitan dengan politik “sprindik” ala partai penguasa menjelang Pemilu 2024 yang kian mendekat. Ada dugaan ia menjadi tumbal dari kompetisi elit partai politik nasional di pusat (PDIP cs versus Demokrat cs).

Meski terdapat banyak spekulasi beredar, yang paling tidak elok pastinya adalah soal penangkapannya yang dilakukan saat beliau masih sakit. Tanpa berpikir panjang, KPK tetap menahan LE di rutan. Terbaru diperpanjang lagi masa penahanannya hingga beberapa waktu ke depan.

Sementara itu ada kekhawatiran keluarga, kolega dan rakyat Papua soal kondisi kesehatan LE yang berpotensi makin menurun. Banyak kondisi-kondisi comorbid yang LE alami selama masa penahanannya. Rakyat Papua masih secara seksama menyaksikan, gubernur mereka yang dipilih secara demokratis dan langsung melalui Pemilu, diperlakukan bak penjahat/teroris.

Apa gerangan yang negara bakal lakukan pada sosok gubernur sekaligus pemimpin Karismatik dan moderat paling berpengaruh di Papua ini? Apakah akan menyebabkan kesehatannya makin memburuk atau beliau akan baik-baik saja? Hanya tunggu waktu yang akan menjawab. Rakyat Papua sedang saksikan.

Penulis mengamati persoalan ini amat menyedihkan dan bakal berat kedepannya. Seolah rakyat Papua kembali mengalami masa kelam ketika Bas Suebu dikriminalisasi, meski ia mengaku tak pernah menggunakan sepeserpun dana sebagaimana dirinya dituding pada tahun 2013 silam.

Orang Papua seolah sedang mengalami dejavu kolektif. Mengulangi dan mengalami kembali kasus-kasus yang berlalu di saat ini. Apakah episode ini akan terus terjadi ke depan atas semua pemimpin Papua di lima DOB Provinsi? Jawabnya, hanya Tuhan yang tahu.

Catatan ini berupaya mengungkap bagaimana rezim Jokowi mengkhianati kepemimpinan rezim Gubernur Lukas Enembe dan Klemen Tinal (LE-KT). Bagaimana negara begitu saja akan melupakan semua jasa baik dan totalitas pengabdian LE yang dengan loyalitas dan dedikasinya sudah didarma baktikan.

Namun tidak dianggap. Tidak dilihat sebagai wujud nyata komitmen dan pengejahwantahan sumpah janji beliau untuk bekerja mendahulukan kepentingan umum dibanding kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Bekerja demi tegak kokohnya NKRI di tanah ini.

Namun, sebaliknya LE justru menjadi “tumbal” dari polarisasi destruktif politik Indonesia jelang Pemilu 2024. Dimana terlihat ada infisible hand juga ikut menyaksikan permainan itu. LE harus menjadi korban dari kompetisi buruk politik ala feodal sultanik Jawa yang masih kuat menguasai dan merongrong Kebinekaan ibu pertiwi,NKRI.

SOSOK PEMIMPIN KARISMATIK

Lukas Enembe adalah gubernur Papua yang paling lama menjabat semasa Jokowi menjadi presiden Republik Indonesia sejak 2014 menggantikan SBY. Meski keterpilihan LE sebagai Gubernur lebih awal 2 tahun ketimbang Jokowi.

Bila dihitung, sudah lebih dari 9 tahun lamanya LE menjabat sebagai Gubernur di era presiden Jokowi. Sebelum akhirnya ditangkap karena kasus gratifikasi pada minggu kedua awal tahun 2023.

Mengapa harus dikemukakan waktu periodisasi Lukas Enembe dan rezim Jokowi? Ini kaitannya untuk menjelaskan proses pengkhianatan yang dilakukan negara (rezim JOKOWI-PDIP) kepada LE yang pada kenyataannya terbilang loyal dan patuh dalam menjalankan beberapa program nasional ambisius rezim Jokowi.

Namun, apa yang dilakukan LE ternyata bukan apa-apa. Tidak ada apa-apanya dimata rezim Jokowi cs. Buktinya, LE ditangkap dalam kondisi tidak fit alias sakit. Enembe mengalami apa yang disebut, “air susu dibalas dengan air tuba”. Artinya kebaikan dibalas dengan kejahatan. Sesuai dengan filosofis kebudayaan suku bangsa Jawa.

Ada banyak hal yang patut dilihat dari ditangkapnya LE pasca meninggalnya wagub Papua Klemen Tinal. Utamanya LE adalah gubernur berpengaruh berkarakter bigman dan pemimpin karismatik.

Bagimana tidak, perhelatan Pilgub Papua kedua menjadi bukti, kuat dan kokohnya rezim Lukmen jilid 2. Koalisi dua partai terbesar di Indonesia (PDIP dan Gerindra) saja mereka tumbangkan di Papua. Bagaimana Rezim Jokowi dan elit nasional tidak frustasi dan ketar-ketir.

Itulah mengapa, sebenarnya tokoh sehebat seperti LE ini mestinya tetap ada. Untuk menjadi penyeimbang bagi dominasi satu atau dua partai tertentu di daerah. Namun, tanpa memikirkan betapa loyalnya beliau, dia “dipangkas” dengan sprindik ala Rocky Gerung yang sekarang sedang marak menimpa elit partai di luar pemerintah.

Rezim LE terlihat sepertinya “dihabisi” secara sistematis dan terstruktur dengan menggunakan banyak tangan dan pihak-pihak. Baik dari internal OAP maupun di luar OAP.  Di internal OAP bisa menggunakan orang-orang dekatnya dari unsur keluarga dan juga kader-kadernya sendiri di daerah.

PRESTASI YANG DIABAIKAN

Mengapa saya dapat mengatakan Lukas Enembe di Papua dikhianati oleh negara, berikut beberapa argumentasi,yang dapat dilihat sebagai capaian prestasi keberhasilan rezim LE menjalankan program rezim Jokowi. Meski demikian, kita dapat memahami dinamika itu, sebagai bagian dari belum terkoneksinya aspek kepentingan antar elit (Demokrat vs PDIP dkk).

1. Rezim Lukmen Selenggarakan Natal Bersama di Mandala 2014

2. LE-KT tidak Lepas Garuda Meski RUU Otsus Plus Gagal

2.Rezim LE Mendukung Peluncuran Kapsul Waktu di Merauke

3.Rezim LE Dukung Bentuk Melindo 2016

4.Rezim LE Dukung Divestasi Saham PTFI 2018

5.Rezim LE Tolak Mahasiswa Exodus 2019

6.Rezim LE Sukses Adakan PON XX Papua

7. Rezim LE Sukses Gelar Paralimpic

7.Rezim LE sukses Bangun Gedung Negara

8.Rezim LE sukses Bangun Venue Megah PON

9.Rezim LE sukses Atasi Covid19

10.Rezim LE Berhasil Bagi Dana Otsus 20:80

11. Rezim LE Berhasil Hadirkan UHC lewat KPS

12. Rezim LE sukses Gagalkan ULMWP ke Full Member MSG

13. Rezim LE Biarkan Pembangunan Smelter di Gresik.

14. Rezim LE sukses Bangun Jembatan Merah Youtefa

15. Rezim LE sukses bangun  5 Kantor Pemda (Kantor Gubernur, MRP, KNPI, KPU dan Dishub)

16. Rezim LE sukses Kendalikan Kamtibmas Papua selama dua periode

Dari beberapa prestasi dan capaian yang diraih oleh rezim Lukmen ada perhelatan PON 2021 dan  Pembentukan organisasi Melanesia Indonesia (Melindo) adalah sedikit dari keberhasilan LE dalam menjadi keutuhan NKRI di tanah Papua.

Bila dihitung, masih banyak keberhasilan rezim LE yang patut diapresiasi oleh negara melalui Rezim Jokowi. Tapi naif, karena beliau justeru ditangkap dalam kondisi tidak fit dan sedang mengalami gangguan kesehatan sistematis kronik.

DUGAAN FAKTOR PENYEBAB

Jika diamati dari luar, khususnya kacamata anak jalanan, maka yang terbaca sebagai dugaan atas aktor dan faktor yang menyebabkan tumbangnya rezim LE ada dua secara umum, yakni eksternal dan internal.

Faktor eksternal mencakup, politik negara, politik Pemilu, keamanan dan HAM. Aktornya negara dan perangkatnya, juga aktor warga sipil atau politikus tertentu. Faktor Internal meliputi: faktor perilaku LE dan kroninya (keluarga, suku, kelompok dan golongan). Aktornya orang-orang rezim LE sendiri.

FAKTOR ESKTERNAL

Faktor eksternal memang mulai terlihat memainkan peran yang cukup besar dan signifikan sejak akhir periode pertama atau awal periode kedua rezim LE KT. Memang bila disadari, ada kaitan dengan faktor internal. Isu korupsi dana Otsus yang mulai didengungkan pada tahun 2017 menjadi semacam sinyal ada uji coba kekuatan dari pihak eksternal untuk mendelegitimasi atau mengkude rezim LE. Tapi belum ada bekapan penuh KPK dan jajaran pihak penegak hukum lainnya.

Sementara itu, perkembangan eskalasi politik Papua merdeka mengalami transformasi signifikan setelah rezim LE berkuasa. Hanya berselang dua tahun, terjadi deklarasi Saralana Vanuatu yang bersejarah. Dimana kelompok perjuangan Papua bersatu dan membentuk gerakan persatuan pembebasan Papua Barat (ULMWP).

Puncak keberhasilan ULMWP ini terjadi tahun 2015, dimana mereka diterima sebagai angggota pengamat (Observer). Sementara Indonesia menjadi anggota asosiasi. Ini merupakan langkah maju dan keberhasilan bersejarah dalam arus gerak perjuangan Papua di Fora Internasional selama enam dekade.

Bersamaan dengan itu, kekuatan, ketokohan dan pengaruh rezim LE makin kokoh di Papua. Pelan tapi pasti. Terjadi peralihan kekuasaan dari rezim Bas Suebu kepada Enembe. Banyak posisi dan bidang jabatan, otonom, vertikal dan swasta diambil alih rezim LEKT.

Wajah-wajah lama digeser. Wajah baru dari daerah tiba-tiba ditarik mengisi posisi strategis dan penting di jajaran Pemprov Papua. Lebih hebatnya kursi legislatif pun nyaris jatuh ke tangan partai rezim LE KT. Demokrat menjadi penguasa demikian pula MRP. Ini menjadi sinyalemen kekuatan LE yang turut melahirkan sentimen dari lawan-lawan politiknya.

Sentimen lawan politik LE KT yang sudah lama bersemedi mulai menemukan momentumnya ketika sang lawan politik abadi LE,John Wempi Wetipo disiapkan dan diparkir di Istana sebagai satu-satunya OAP di posisi wakil menteri PUPR pada tahun 2018/2019.

Demikian juga setelah Irjen Pol. Paulus Waterpauw pensiun dari posisi jenderal polisi. Dibackup Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian yang sudah bisa membaca peta kekuatan rezim LE KT dengan modal keahlian inteligensia terorismenya, maka lengkap bahwa rezim LEKT merupakan sosok berbahaya yang musti waspadai.

Alhasil polemik terbuka antar Paulus Waterpauw, Kepolisian, BIN dan LE KT pun menjadi tak terhindarkan. 2017-2019 menjadi tahun uji coba matikan roh rezim LEKT dan kroninya. Hal itu, diperuncing dengan tumbangnya beberapa pejabat Papua, kepala daerah dan eks kepala daerah tertentu.

Ada sejumlah orang-orang dekat rezim LE pun tiba-tiba tumbang. Misalnya Sendius Wonda 2019, Er Dabi 2019, Yairus Gwijangge 2019,Abock Busup 2020, Klemen Tinal 2021 dll. Dsb. Sinyal lain selanjutnya, ditandai dengan majunya posisi partai Nasdem sebagai pemenang pucuk pimpinan parlemen Papua.

Bila peristiwa rasis 2019 memang murni dan tidak direkayasa untuk melahirkan antipati publik terhadap rezim LEKT,maka 2019 adalah puncak pertaruhan reputasi rezim ini. Sebab setelah peristiwa rasisme LE seolah menjadi terdesak oleh tekanan dan dilema besar.

Pada tahun itulah, roh dari rezim LE melayang ketika terdapat 60 an tokoh Papua bertemu presiden Jokowi dan menyampaikan aspirasi pemekaran.  Bila diamati, para pihak yang termasuk dalam 60 tokoh ini banyak politisi dan tokoh2 tertentu yang kalah dalam pemilu, dan berambisi tinggi menjadi pejabat. Tapi dengan harapan lengserkan Rezim berkuasa hari ini dan kroninya melalui: pemberian DOB sebagai siasat penghancuran rezim LE.

Akan tetapi, ditengah perjalanan justeru agak beda. Upaya itu justeru dibarengi meninggalnya wagub KT secara misterius dan para pejabat lainnya. Jakarta yang sudah lama menunggu legitimasi dan “aspirasi” untuk merongrong keperkasaan LEKT dan Demokrat akhirnya menerima senjata ampuh.

DOB menjadi alasan kuat hancurkan eksistensi rezim LE. Situasi makin tak terkendali ketika LE menolak menerima Paulus Waterpauw sebagai Wagub menggantikan posisi KT. Dalam prinsip LE bila ia menerima orang di luar koridor rezimnya adalah ancaman. Maka LE menjadi Gubernur Papua tanpa wakil sebagaimana sikapnya yang tegas.

Sayang, itu akhirnya menjadi puncak dari skenario besar desain negara untuk menangkap LE dengan kasus gratifikasi uang senilai 1 milyar. Sesuatu yang secara logika, tak mungkin seseorang yang memiliki puluhan-hyaris ratusan milyar, ditangkap hanya gara-gara ingin korupsi satu mikyar. Orang tersebut dalam kondisi menderita penyakit kronik kardiovaskuker pula.

Bila ditelisik lebih dalam, yang terjadi bukan upaya menegakan hukum melainkan terjadi penggulingan, kudeta halus sekaligus bermotif penjarahan, perampasan, perampokan atas kekayaan, kuasa dan jaringan rezim LE dengan dalih kasus kriminal, tindak pidana Korupsi. Bersambung!


Komentar

Harus Kena Konteks, Bukan Kena Kosong

Perang Dunia III : NKRI dan West Papua

Edisi 5/5 Mengenang Agus A. Alua : Alter-Kristus Pejuang Papua