Part IV: Membongkar Kedok Busuk Pemerintah dan TNI Polri NKRI di Tenggah Masyarakat Jayawijaya Provinsi Papua Pengunungan
“Pemerintah
dan TNI Polri di Kabupaten Jayawijaya
gagal mewujudkan motto Yogotak Hubuluk Motok Hanorogo”
Oleh, Lewi Pawika
Tiga tulisan sebelumnya, telah di ketahui oleh para
pionir-pionir yang telah dikritisi dan di bongkar kedok busuk mereka dalam
tulisan tersebut. Setelah mengetahui kedok busuk mereka, ternyata mereka (TNI
Polri bersama pemerintah dan elit local) hendak melahirkan masalah baru guna
menghancurkan Lemba Agung Jayawijaya itu. Namun ada beberapa persoalan yang
hendak di biarkan yang adalah misi utama mereka.
Kehadiran tulisan ini juga tak
terlepas dari persoalan yang sedang di pelihara itu. Pertanyaan mendasar dalam
tulisan ini adalah apa masalah yang sedang di pelihara? Siapa yang memelihara? Dan
kenapa di pelihara dan di lahirkan masalah baru? Pastor Frans Lieshout
(misonaris Belanda) saat perpisahan dengan umat Katolik Papua di
Angkasa-Jayapura pada 26 Oktober 2019 menegaskan bahwa “Wamena hancur, hancur
dan hancur. Orang gunung yang buat itukah?”. Untuk menjawab dua pertanyaan
diatas atau untuk mengetahui siapa yang menjadi actor, penulis hendak
menjelasan kehidupan social masa lalu dan tentang persoalan yang masih
dipelihara dan yang sedang dilahirkan.
Ada sebuah ungkapan dari seorang mama demikian; “Dulu
kami hidup baik disini. Agama datang dia duduk di saya punya paha, saya terima
baik dan pemerintah datang, dia duduk di saya punya paha dan saya terima baik.
Tapi nyatanya pemerintah dan agama menghancurkan saya punya kehidupan yang baik
itu. Saya tidak bisa merasakan lagi situasi dulu” (Niko Lokobal, dkk, Papua
Nyawene).
Ungkapan ini dapat menjelaskan fenomena kehidupan
social masa lalu dan masa kini. Melalui ungkapan ini juga kita dapat
menganalisa bagaimana situasi dulu dan sekarang berdasarkan relaitas yang
sedang terjadi di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua Pengunungan. Di lain sisi
dapat menjelaskan dan menjawab secara detail berkaitan dengan pertanyaan tadi
(siapa yang menjadi actor?). Tampak jelas bahwa yang menjadi actor adalah agama
dan pemerintah. Keduanya memang hadir karena kepentingan, entah kepentingan
positif ataupun negative. Bersadarkan kepentingan tersebut dapat menilai
melalui berbagai fenomena social yang hendak terjadi di kalangan masyarakat
Jayawijaya. Kita bisa melihat siapa yang bermain politik untuk menhancurkan
masyarakat Jayawijaya, pemerintah atau agama?
Bagi Penulis, dalam kaitan dengan tulisan sebelum dan
juga dengan tulisan ini yang menhacurkan eksistensi masyarakat Jayawijaya
adalah pemerintah dan TNI Polri. Mengapa
pemerintah dan TNI Polri? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama penulis
menuliskan persoalan yang sedang di pelihara. Kemudian, yang kedua adalah
persoalan yang baru di lahirkan. Ada
beberapa persoalan yang sedang di pelihara. Diataranya,
Pertama, penjualan minuman keras/alcohol yang
mengakibatkan ketidaknyaman masyarakat. Bahkan terjadi pembunuhan dan koflik
horizontal. Disini sebenarnya pemerintah dan TNI Polri sedang membiarkan
situasi tersebut. Karena sudah berulang-ulang terjadi namun tidak ada
penegakkan hukum yang jelas dari pihak keamanan maupun pemerintah daerah.
Kedua, hadirnya togel. Visi Misi utama
Bupati Jayawijaya adalah kembali kepada Wen,
Wam dan Wene. Namun, hadirnya togel membuat masyarakat terutama kaum
laki-laki yang dulunya disebut orang kerja mengubah menjadi laki-laki togel.
Dalam kaitan dengan ini Mgr. Yanuarius Theofilus Matopai Sibilki You (Uskup
keuskupan Jayapura) menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Model Laki-Laki
Baru Masyarakat Suku Dani”. Koflik
social terutama dalam rumah tangga muncul karena togel. Di lain sisi tingkat
kemalasan semakin meningkat. Ini salah satu metode yang dikonsepkan oleh
Jakarta guna mengusai tanah Hubulama. Sebab orang tingkat kemalasan mulai
meningkat, yang pasti tanah-tanah yang dulu disebut wen itu akan menjadi hutan.
Sehingga peluang untuk penjualan tanah pun semakin meningkat karena faktornya
kemalasan alias mental uang.
Ketiga, pembunuhan illegal yang semakin meningkat.
Dalam sejarah terjadi pembunuhan terhadap orang asli Papua sejak 1961 hingga
kini. Pembunuhan yang terjadi di di West Papua umumnya dan khususnya kabupaten
Jayawijaya tanpa ada penyebab yang jelas bahkan tanpa mengetahui pelaku. Dalam
konteks pembuhunan anehnya adalah informasi tentang pembuhunan pihak keamanan
(TNI Polri) lebih dulu mengetahui dibanding dengan pihak korban. Persoalan ini
mesti harus di telusuri lebih mendalam. Artinya kenapa pihak keamanan
mengetahui terelebih dahulu? Ada apa dibalik ini? Jangan-jangan pihak keamanan
menjadi pelaku? Semua persolan pembunuhan di Kabupaten Jayawijaya tidak
menyelesaikan secara baik melalui hukum adat dan pemerintah. Maka, dapat disimpulkan bahwa pemerintah dan
TNI Polri sedang memelihara konflik vertical dan horizontal.
Dan keempat, Persoalan tanah pembangunan Kantor Provinsi
Papua Pengunungan. Secara hati hurani manusia Papua khususnya
masyarakat Jayawijaya sudah menolak melalui demonstrasi pada 10 Maret 2022.
Tolak bukan karena tidak mau menerima tetapi dilihat dari cara kerjanya Jakarta
yang hendak berkeinginan menghancurkan Papua-Jayawijaya. Selain itu, ideology
Papua mederka harga mati masih hidup dalam idealisme manusia Papua. Meskipun
demikian, Jakarta bersama elit local Papua (Jhon Wempi Wetipo, Befa Higibalon,
Briur Wenda, Jhon Rocard Banua, Lenis Kogoya dan lain-lain) telah
menyusukseskan DOB Papua dalam DOB Undang-Undang Nomor 14 (Provinsi Papua
Selatan), nomor 15 (Provinsi Papua Tengah) dan nomor 16 (Provinsi Papua
Pengunungan) tahun 2022. Meskipun sudah disahkan secara resmi, namun masyarakat
Jayawijaya bersikap keras agar kantor gubenurnya harus diluar kabupaten
Jayawijaya. Karena lokasi yang disurvei oleh pemerintah merupakan tempat dimana
masyarakat bekerja “mencari nafkah hidup”. Rupanya sikap keras tersebut seakan
benda mati yang sedang berbicara sehingga Jhon Wempi Wetipo (Wakil Menteri
Dalam Negeri) dengan metode pendekatan militer sedang melakukan pembongkaran
dan pembangunan lokasi kantor Provinsi di wilaya Uwelesi, Wouma dan
Assolokobal. Persoalan ini sebenarnya
sedang memelihara konflik pula.
Dari masalah-masalah yang sedang dipelihara, adapun
juga konsep-konsep masalah yang sedang dilahirkan oleh TNI Polri dan Pemda
Jayawijaya.
Pertama, isu tabrak lari. Isu ini muncul pada
12 Agustus 2023 di Jayawijaya. Kronologis singkatnya, insiden tersebut terjadi
pada pukul 11 malam di depan SMA YPPK St. Thomas Wamena. Sampai sekarang belum
diketahui siapa yang melakukannya.
Kedua, Pencurian motor. Isu pencurian motor
muncul pada 2021. Namun di tahun 2021 tidak begitu nampak. Yang begitu nampak
terjadi di tahun 2022. Pencurian motor tersebut kadang tidak mendaptkan pelaku.
Dan yang Ketiga, diskriminasi terhadap budaya Hubulama.
Diskriminasi ini muncul sejak peristiwa vestival budaya pada tahun 2019. Pada
1989 merupakan berlangsungnya festival tersebut. Jadi, sejak dari itu, festival
dapat dirayakan setiap tahun hingga tahun ini. Tujuannya adalah menghidupi dan
mengangkat kembali identitas budaya Papua terutama budaya Lapago. Meskipun
demikian, perayaan tahun ini terkesan bahwa sedang terjadi diskriminasi
terhadap budaya dan indentitas budaya orang Hubula. Hal tersebut dapat terlihat
dari, pertama, viralnya foto Jhon Ricard Banua (Bupati Jayawijaya) sedang
memakai noken yang menjadikan baju. Dan kedua, viralnya foto lima putri
non-Papua yang sedang memakai budaya modern. Hal tersebut terjadi dalam
festival sedang berlansung.
Dalam antropologi orang Papua, noken itu hanya bisa
dipakai oleh seorang wanita. Karena noken tersebut dapat melambangkan identitas
dirinya sebagai seorang wanita. Fungsinya adalah mengisi segala jenis makanan
dan anak bayi. Itu berarti bahwa Jhon Ricard Banua belum paham dengan
antropologi orang Papua terutama antropologi orang Hubula. Di lain sisi, Jhon
Banua sendiri menyatakan bahwa saya ini sudah yang mengambil kamu punya
kekayaan!.
Beberapa persoalan yang disebutkan diatas melahirkan
kontroversi dengan motto Kabupaten Jayawijaya “Yogotak Hubuluk Motok Hanorogo” yang artinya hari ini dan esok
lebih baik. Dengan arti motto saja kita bisa paham bahwa sebelumnya Kabupaten
Jayawijaya sedang tidak baik-baik saja. Maka, perlu dibenahi. Namun, lebih
hancur lagi. Pertanyaannya, yang hendak dibangun hari esok lebih baik itu apa?
*Bersambung…….Part v*
Penulis adalah
Mahasiswa Sekolah Tinggi Fisafat Teologi Fajar Timur
Komentar
Posting Komentar