Nota Pembelaan (PLEIDOI) VIKTOR YEIMO
(Peradilan Abepura)
ATAS
NAMA TERDAKWA
VIKTOR
FREDERIK YEIMO
Nomor:
376/Pid.B./2021/PN Jap., di Pengadilan Negeri Jayapura.
Majelis
Hakim yang Mulia,
Jaksa
Penuntut Umum yang terhormat
Penasehat
Hukum dan hadirin dan rakyat Papua yang saya hormati
Syukur
bagi Tuhan dan salam sejahtera untuk kita semua. Sebagai terdakwa dalam kasus
ini, saya menghadapi tuduhan makar dan penghasutan atas tindakan melawan
rasisme pada tanggal 19 Agustus 2019. Dalam perkara ini, saya menjalani proses
hukum yang begitu lama sejak ditangkap pada 9 Mei 2021. Saya diisolasi, sakit
dan menjalani perawatan di Rumah Sakit di bawah tekanan aparat. Saya dijaga
1x24 jam di bawah todongan senjata. Dalam represi psikologi, saya jalani semuanya
dengan keteguhan iman dan keyakinan saya pada perjuangan melawan ketidakadilan
dan diskriminasi rasial terhadap bangsa saya, bangsa Papua.
Suatu
ketika, saya keluar di halaman Rumah Sakit untuk sekedar melihat luasnya
semesta kota Port Numbay. Jelang 30 menit saya kembali, Jaksa dan Polisi
mencari saya dan menyuruh membuat pernyataan karena kuatir saya melarikan diri.
Saya menyatakan bahwa saya tidak akan melarikan diri dari negeri leluhur saya,
karena saya tidak bersalah dan siap membuktikan itu di pengadilan. Saya
buktikan sikap kooperatif. Atas kebaikan Tuhan dan semua pihak yang membela
kebenaran, termasuk Hakim Pengadilan, saya dapat kembali menjalani proses
peradilan hingga di akhir perkara ini.
Majelis
Hakim, Jaksa, PH dan hadirin yth,
Pada
proses sidang perkara ini, saya telah didakwa dengan tuduhan yang sangat
diskriminatif dan penuh nuansa politis. Karena fakta-fakta persidangan secara
terbuka tidak membuktikan apapun unsur kejahatan dan pelanggaran hukum yang
saya lakukan. Semua keterangan saksi yang dihadirkan oleh Jaksa maupun
Penasehat Hukum membuktikan fakta bahwa saya tidak merencanakan dan
mengkoordinir aksi tanggal 19 dan 29 Agustus 2019.
Bahwa
pada aksi 19 Agustus 2019 saya ikut sebagai peserta aksi tolak rasisme dan ikut
berperan mengamankan aksi damai atas permintaan Mahasiswa hingga selesai. Semua
saksi (terutama keterangan saksi Koordinator Lapangan Ferry Kombo) mengakui
bahwa saya tidak merencanakan, mengkoordir aksi, atau melakukan pemufakatan
tindakan pelanggaran lain. Saya justru berperan mengamankan potensi kekacauan
agar aspirasi rakyat disampaikan secara damai dan terhormat di depan gedung
Pemerintah Provinsi Papua. Saya ikut memberi berbagai orasi-orasi kekecewaan
terhadap tindakan rasisme di Surabaya. Aspirasi tersebut merupakan hak
konstitusi yang dilindungi oleh UU negara ini. Hal ini sudah disampaikan secara
ilmiah oleh Saksi Ahli Tata Negara, Saksi Ahli Filsafat, saksi Ahli Pidana dan
Saksi ahli resolusi konflik yang dihadirkan.
Sementara
Aksi tanggal 29 Agustus 2019, saya tidak ikut merencanakan, mengkoordinir atau
menjadi peserta. Hal itu diakui oleh semua saksi yang dihadirkan dalam
persidangan. Saya mengakui bahwa mengambil gambar dan video di depan Kantor MRP
dan Gubernur tanpa ikut serta dalam aksi tersebut. Tujuannya untuk memberi
informasi kepada publik dan wartawan karena saat itu pemerintah memutuskan
Jaringan Telekomunikasi, dimana atas pemutusan itu Hakim PTUN memvonis Presiden
Jokowi dan Menkominfo Johnny G Plate bersalah melakukan perbuatan melawan hukum
dalam kasus pemblokiran internet. Sehingga secara tegas, saya menyampaikan
sejujujurnya bahwa saya tidak terlibat dalam aksi dan tidak bertanggung jawab
terhadap dampak kekacauan yang terjadi pada aksi ke dua ini.
Majelis
Hakim dan Jaksa Yth,
Aksi
anti rasisme 2019 yang terjadi secara luas di seluruh tanah Papua adalah aksi
spontan orang Papua maupun simpatisan non Papua, dari segala latar belakang
yang berbeda-beda, baik pegawai, swasta, mahasiswa, pelajar, petani, TNI/Polri,
dan sebagainya. Saat itu semua orang menyikapi ujaran rasis di Surabaya dan
meluapkan kemarahannya masing-masing. Aksi di Jayapura dikoordinir Mahasiswa
dan kelompok-kelompok Cipayung. Sehingga tidak ada perencanaan, permufakatan,
apalagi tindakan makar sebagaimana yang dituduhkan. Kehadiran saya yang
mengamankan dan memberi orasi adalah bagian dari rakyat Papua yang merasa
korban penghinaan ras. Sehingga saya menolak segala dakwaan dan tuntutan yang
menghubungkan saya dengan latar belakang organisasi dan aktivitas lain yang
tidak ada hubungan langsung dengan fakta aksi tolak rasisme saat itu.
Materi
orasi yang saya sampaikan sangat erat kaitannya dengan rasisme. Karena bagi
saya rasisme di Indonesia bukan lagi urusan personal tetapi sudah sistemik
dipelihara agar menjadi kendaraan politik ekonomi penguasa. Tidak dapat
disangkal bahwa pandangan rasis menyebabkan perlakuan yang berbeda terhadap
Papua dalam segala bentuk dan segi kehidupan orang Papua. Segala stigma negatif
yang dilekatkan pada orang Papua itulah yang menyebabkan aparat negara dan
Ormas menyerang Asrama Mahasiswa di Surabaya. Diskriminasi rasial yanh
berulang-ulang dihadapi oleh orang Papua dianggap wajar dan dibiarkan
oleh negara. Tetapi ketika Papua protes melawan ketidakadilan dan diskriminasi
rasial, negara hadir menghantam kami orang Papua dengan pasal makar dan
provokasi. Perkara sidang ini membuktikan hal itu, bahwa rasisme itu
benar-benar ada dalam segala tuduhan dan dakwaan ini.
Pernahkah
negara dan aparaturnya menjawab mengapa ras bangsa Papua menjadi minoritas,
hanya tersisa 2,9 jiwa sementara tetangga PNG sudah 17 Juta jiwa penduduk? Dari
minoritas yang terlampau jauh ini, kenapa tanah Papua secara konsisten
menduduki urutan pertama penduduk termiskin dengan IPK paling rendah di
Indonesia? Kenapa jawaban dari konflik Aceh adalah perundingan damai tetapi
jawaban konflik Papua adalah senjata dan penjara? Kenapa UU Anti Diskriminasi
rasial, UU tentang Kebebasan berekspresi, dan UU Kekhususan dalam Otsus tidak
berlaku dan berpihak pada orang Papua? Bukankah itu suatu kejahatan terstruktur
terhadap kami orang Papua? Bisakah pertanyaan-pertanyaan ini dijawab oleh
saudara Jaksa dan negara ini? Ataukah jawabannya memang harus ada di moncong
senjata dan ketuk palu hakim? Kenapa negara ini menghindari Kajian dan Solusi
LIPI, BRIN dan lain-lainnya? Lalu membawa rakyat dan kemanusiaan Indonesia
dalam ruang kegelapan yang paling gelap dari ruang penjara saya di Lapas
Abepura?
Majelis
Hakim dan Jaksa Yth,
Kehadiran
saya pada aksi damai tolak rasisme tanggal 19 Agustus 2019 adalah untuk
mempertanyakan semua itu. Saya tahu bahwa saya memiliki hak hukum untuk melawan
segala bentuk rasisme. Negara ini memberi ruang belajar, dan saya telah
mempelajari konstitusi, semboyang dan Pancasila. Tetapi kenapa perjuangan saya
demi kesetaraan, kemanusian, keadilan sosial, dan kemerdekaan dipasung dengan
senjata dan penjara? Saya percaya bahwa hak untuk bersuara dan berbicara adalah
hak yang dijamin oleh konstitusi dan hak asasi manusia. Saya telah melaksanakan
hak-hak tersebut dengan damai tanpa merugikan siapapun. Saya percaya bahwa
melawan rasisme adalah hak dan kewajiban setiap individu yang peduli dengan
keadilan sosial dan hak asasi manusia
Rasisme
adalah masalah global. Banyak negara di dunia menghadapi masalah rasisme dan
diskriminasi yang serupa. Oleh karena itu, sebagai warga dunia tindakan saya
dan rakyat Papua juga harus dipandang dalam konteks global dan dianggap sebagai
bagian dari gerakan sosial yang lebih besar untuk menghapuskan rasisme dan
diskriminasi di seluruh dunia. Rasisme bukanlah sekadar masalah pribadi, tetapi
masalah struktural yang harus diatasi secara sistemik, mulai dari aparat TNI
Polri hingga di ruang-ruang peradilan hukum ini. Kebijakan hukum janganlah
menempatkan pelaku rasis lebih unggul dan kebal, dan menempatkan korban rasisme
lebih rendah dan buruk terus menerus. Karena rasisme struktural adalah
ketidakadilan yang terbangun dari kebijakan, hukum, norma, dan nilai yang
diterapkan oleh sistem yang ada, yang menguntungkan kelompok tertentu dan
merugikan kelompok lainnya.
Majelis
Hakim dan Jaksa yth,
Akhirnya,
saya meminta hakim untuk melihat tindakan saya sebagai bagian dari gerakan
sosial yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan. Saya juga ingin menegaskan
bahwa tindakan saya melawan rasisme adalah tindakan yang dilakukan dengan niat
yang jujur dan tulus untuk memperjuangkan hak asasi manusia dan keadilan
sosial. Saya tidak melakukan tindakan tersebut untuk tujuan pribadi, melainkan
untuk mewakili suara ras bangsa saya yang terdampak oleh diskriminasi dan
ketidakadilan. Oleh larena itu, saya berharap agar hakim dapat membebaskan saya
dari segala tuduhan yang diarahkan pada saya, dan memberi keadilan untuk saya,
tetapi juga bagi orang Papua, Indonesia dan dunia, bahwa di ujung palu hakim
tidak ada rasisme melainkan kejujuran, kebenaran dan keadilan.
Saya
harus mengakui dengan jujur dan berterima kasih untuk Majelis Hakim yang
benar-benar mempertaruhkan segalanya untuk menghormati hak kesehatan saya
hingga terselesainya proses perawatan dan pengobatan. Begitu pula pihak
Penasehat Hukum, Jaksa yang bekerja sama sehingga hak dan kewajiban dalam
proses peradilan terpenuhi sekalipun terpampang tembok–tembok ketidakadilan
yang menghancurkan kemanusiaan di depan hukum.
“Rasisme
adalah bentuk penindasan yang menghambat kemerdekaan dan kesetaraan.” – Angela
Davis.
“Tidak
ada tempat untuk rasis dalam peradilan hukum. Ketika keputusan hukum didasarkan
pada ras, itu merusak integritas dan legitimasi sistem peradilan itu sendiri.”
– Sonia Sotomayor
Demikian
pledoi ini saya buat dari Lapas Abepura, 2 Mei 2023.
Komentar
Posting Komentar